Sabtu, 17 April 2021

 Catatan terhadap Pasal 105 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sehubungan dengan berlakunya UU Cipta Kerja

 

1.      Pasal 105 UUPerkebunan, berbunyi:

“Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki izin Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

 

Penjelasan: Cukup jelas.

 

2.      Pasal 47 ayat (1) UUPerkebunan, berbunyi:

“(1)  Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memiliki izin Usaha Perkebunan” .

 

Penjelasan:

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan " skala tertentu" adalah Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan sesuai dengan skala usaha yang ditetapkan oleh Menteri.

Yang dimaksud dengan "kapasitas pabrik tertentu" adalah kapasitas minimal unit pengolahan Hasil Perkebunan yang ditetapkan oleh Menteri.

                          

Berdasarkan Pasal 29 angka 15 UU Cipta Kerja, Pasal 47 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi:

“(1)   Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.”

 

Penjelasan:

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan " skala tertentu" adalah Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan sesuai dengan skala usaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Yang dimaksud dengan "kapasitas pabrik tertentu" adalah kapasitas minimal unit pengolahan Hasil Perkebunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

 

3.     Berdasarkan Pasal 29 angka 32 UU Cipta Kerja, bahwa Pasal 105 UU No. 39/2014 dinyatakan dihapus.

 

4.      Memperhatikan ketentuan Pasal 186 UU Cipta Kerja yang mengatur bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni tanggal 2 November 2020, serta dikaitkan dengan asas legalitas yang tujuannya untuk kepastian hukum yang juga mengisyaratkan hukum utama dalam hukum pidana Indonesia adalah Undang-undang, maka dengan di hapusnya Pasal 105 UUPerkebunan oleh Pasal 29 angka 32 UU Cipta Kerja, ketentuan Pasal 105 UUPerkebunan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, artinya ditafsirkan bahwa perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki izin Usaha Perkebunan, bukan merupakan tindak pidana lagi.

 

5.  Ketentuan Pasal 105 UUPerkebunan sudah dinyatakan di hapus dan terhadap perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki izin Usaha Perkebunan, bukan merupakan tindak pidana lagi, apakah terhadap perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki izin Usaha Perkebunan, yang perbuatannya dilakukan (tempus delicti) sebelum berlakunya UU Cipta Kerja juga tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atau dapat dituntut dan dijatuhi hukuman?

 

6.  Bahwa memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang di dalamnya terkandung asas legalitas dan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang didalamnya terkandung penyimpangan dari larangan berlaku surut hukum pidana, sepanjang mengenai hal bahwa hukum yang baru lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama, yaitu apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir. Kemudian, dengan adanya pengecualian bagi larangan berlaku surutnya hukum pidana yakni dalam hal terjadi perubahan undang-undang sesudah perbuatan dilakukan, undang-undang pidana dapat “berlaku surut” untuk diterapkan pada perbuatan yang sudah ada sebelumnya hanya jika perubahan undang-undang pidana itu lebih menguntungkan bagi tersangka, terdakwa, atau terpidana, maka jika terjadi (situasinya) sudah ada ketentuan pidana ketika seseorang telah melakukan perbuatan yang ada aturannya tersebut, terjadi suatu perubahan atas ketentuan tersebut, misalnya:

(a)  ketentuan pidana itu dihapuskan;

(b) tetap ada, tetapi ancaman pidananya berubah ringan atau lebih berat;

(c)   jenis tindak pidananya berubah yang semula jenis yang lebih serius menjadi lebih ringan atau sebaliknya;

(d) semula tindak pidana aduan menjadi biasa atau sebaliknya, atau unsur-unsur tindak pidana itu bertambah atau sebaliknya,

serta memperhatikan substansi Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:

“Jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan setelah terjadinya tindak pidana, ketentuan yang paling menguntungkan harus diterapkan terhadap terdakwa”

kemudian lagi memperhatikan pendapat Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan penyimpangan dari larangan berlaku surut hukum pidana, sepanjang mengenai hal bahwa hukum yang baru lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama, yaitu apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir, maka dapat dikemukan atau disimpulkan bahwa:

a.  Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana;

b.  dalam hal perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, proses hukum terhadap tersangka atau terdakwa harus dihentikan demi hukum.

Dengan demikian, dalam hal perbuatan yang terjadi sebagaimana diatur dalam Pasal 105 UUPerkebunan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja, dan pada saat pemeriksaan perkara (penyelidikan) telah berlaku UU Cipta Kerja yang menghapus ketentuan Pasal 105 UUPerkebunan sehingga yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki izin Usaha Perkebunan yang telah tidak lagi merupakan tindak pidana, maka proses hukum penyelidikan (penegakan hukum pidana) terkait Pasal 105 UUPerkebunan dapat dihentikan demi hukum.

 

--o0o--

            Catatan terhadap Pasal 109 UUPPLH sehubungan berlakunya  UU Cipta Kerja

 

1.      Pasal 109 UUPPLH, berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

 

Penjelasan Pasal 109 UUPPLH: Cukup jelas.

 

2.      Pasal 36 ayat (1) UUPPLH, berbunyi:

“(1)  Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan”.

Penjelasan: Ayat (1) Cukup jelas.

Berdasarkan Pasal 22 angka 14 UU Cipta Kerja, Pasal 36 UUPPLH dihapus.


Kemudian berdasarkan Pasal 22 angka 36 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, ketentuan Pasal 109 UUPPLH di ubah sehingga berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:

a.   perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), atau Pasal 59 ayat (4);

b.   persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; atau

c.     persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1);

yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.OOO,OO (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).


Berdasarkan Pasal 22 angka 3 UU Cipta Kerja, bahwa Pasal 24 ayat (5) UUPPLH diubah, sehingga berbunyi:

(1)    Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan.

(2)  Uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup pemerintah Pusat.

(3)    Tim uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat.

(4)  Pemerintah Pusat atau pemerintah Daerah menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup.

(5)         Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai persyaratan penerbitan perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah pusat atau pemerintah Daerah.

(6)     Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana uji kelayakan lingkungan hidup diatur dalam peraturan Pemerintah.

 

Penjelasan Pasal 24 ayat (5) UUPPLH:

Yang dimaksud dengan "Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup" adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal.

Yang dimaksud dengan "persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah" adalah bentuk keputusan yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai dasar pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

 

Berdasarkan Pasal 22 angka 12 UU Cipta Kerja, bahwa ketentuan Pasal 34 UUPPLH diubah, sehingga berbunyi:

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap Lingkungan Hidup wajib memenuhi standar UKL-UPL.

(2) Pemenuhan standar UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(3) Berdasarkan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

(4) Pemerintah Pusat menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi UKL-UPL.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Penjelasan Pasal 34 UUPPLH:

Ayat (1): Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup" adalah standar pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bagi usaha danlatau kegiatan yang wajib UKL-UPL.

Ayat (3) sampai dengan ayat (5): Cukup jelas.

                          

Berdasarkan Pasal 22 angka 20 UU Cipta Kerja, bahwa Pasal 59 UUPPLH diubah, sehingga berbunyi:

(1)   Setiap orang yang menghasilkan Limbah 83 wajib melakukan Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya.

(2)  Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan Pengelolaan Limbah B3.

(3)   Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu melakukan sendiri Pengelolaan Limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.

(4)      Pengelolaan Limbah B3 wajib mendapat Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

(5)      Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

(6)       Keputusan pemberian Perizinan Berusaha wajib diumumkan.

(7)  Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan Limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Penjelasan:

Ayat (1) :  Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3.

Ayat (2) : Cukup jelas.

Ayat (3) : Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan limbah B3 dan telah mendapatkan izin.

Ayat (4) :Cukup jelas.

Ayat (5) : Cukup jelas.

Ayat (6) :Cukup jelas.

Ayat (7): Cukup jelas.

 

Pasal 58 ayat (1) UUPPLH:

“Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.”

 

Penjelasan:

Ayat (1) : Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup yang berupa terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, mengingat B3 mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan dampak negatif.


3.  Bahwa dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 22 angka 36 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan Pasal 109 UUPPLH, maka tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 UUPPLH, unsur-unsurnya sebagai berikut:

a.     Setiap orang;

b.    yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:

2)     perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam:

-    Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup,

-    Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

-    Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya, atau

-    Perizinan Berusaha atau Persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Limbah B3;

3)     persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk diperbolehkan membuang limbah ke media lingkungan hidup;

4)     persetujuan dari Pemerintah Pusat dalam melakukan Dumping.

c.     yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan,

d.     dengan sengaja.

 

4.    Bahwa memperhatikan ketentuan Pasal 109 UUPPLH dan Pasal 22 angka 14 UU Cipta Kerja yang menghapus ketentuan Pasal 36 UUPPLH yang mengatur tentang izin lingkungan serta Pasal 22 angka 36 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan Pasal 109 UUPPLH, maka tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UUPPLH, bukan merupakan tindak formil lagi sebagaimana sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, tetapi sudah menjadi tindak pidana materiil, yang hal ini dapat dilihat dari unsur yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan;

 

5.    Bahwa Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

“Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”

 Pembentuk pembentuk KUHP tidak memberikan penjelasan terhadap tafsir Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut, maka digunakan pendapat para ahli hukum pidana (doktrin).  Van Bemmelen, mengistilahkan terjadinya perubahan hukum pidana tersebut sebagai hukum transitoir atau hukum peralihan, dan para ahli hukum yang umumnya memberikan makna bahwa substansi Pasal 1 ayat (2) KUHP disebut dengan asas transitoir, yaitu asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal terjadi atau ada perubahan undang-undang.

Asas transitoir sebagaimana di atur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, memperbolehkan aturan hukum pidana hasil perubahan untuk diterapkan secara surut (retroaktif), dengan syarat bila hukum pidana hasil perubahan tersebut lebih menguntungkan bagi terdakwa dibandingkan bila menerapkan hukum pidana sebelum perubahan.  Artinya, apabila suatu perbuatan dilakukan lalu terjadi perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, sehingga dengan demikian lex temporis delictie tersebut dibatasi oleh Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut. 

Menentukan kadar yang menguntungkan bagi terdakwa menurut Sudarto dasarnya adalah penerapan pada kasus-kasus yang konkrit, dan didasarkan pada arti yang luas, bukan hanya pada berat ringan sanksi pidananya saja. Menguntungkan bagi terdakwa bukan saja terkait ancaman pidananya yang menguntungkan terdakwa, tetapi juga termasuk perubahan perumusan delik, dari delik biasa menjadi delik aduan, atau juga dari sanksi pidana penjara menjadi sanksi denda atau sanksi administrasi. Perubahan peraturan yang menguntungkan  termasuk juga soal daluwarsa penuntutan, jika daluwarsa penuntutannya dipercepat, maka hal ini termasuk juga dalam kategori yang menguntungkan bagi terdakwa. Dalam menerapkan kadar keuntungan ini, maka tidak hanya berlaku di pemeriksaaan namun sampai pada semua tingkat pemeriksaan di peradilan.

Terkait asas transitoir yang menguntungkan bagi terdakwa ini juga masih dipertahankan dalam RUU KUHP, yang dicantumkan dalam Pasal 2 yang berbunyi : “dalam hal perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku apabila menguntungkan bagi pembuat”. Dalam konteks ini jelas, bahwa peraturan perundang-undangan yang diberlakukan jika terjadi perubahan pada undang-undang digunakan ketentuan yang baru dan menguntungkan terdakwa. Jika undang-undang lama lebih menguntungkan, maka dipergunakan undang-undang yang lama.

 

6.  Bahwa arah kebijakan pengaturan mengenai penegakan hukum lingkungan dan kehutanan sejak berlakunya UU Cipta Kerja hendaknya dipandang sebagai suatu ultimum remedium atau sebagai upaya yang harus dipergunakan sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia (orang) dan wajarlah apabila orang menghendaki agar hukum pidana dalam penerapannya haruslah disertai dengan pembatasan-pembatasan seketat mungkin.

 

7.     Bahwa penerapan asas ultimum remedium  dalam penegakan hukum lingkungan dan kehutanan sejak berlakunya UU Cipta Kerja, khususnya berkaitan dengan penerapan Pasal 109 UUPPLH tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 22 angka 32 UU Cipta Kerja yang diantara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 3 (tiga) Pasal, yakni Pasal 82A, Pasal 82B dan Pasal 82C.

Pasal 82A UU Cipta Kerja, berbunyi:

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:

a.       Perizinan Berusaha, atau persetujuan pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1) atau Pasal 59 ayat (4); atau

b. persetujuan dari Pemerintah pusat atau pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (3) huruf b;

dikenai sanksi administratif.

 

Penjelasan: Cukup jelas.

 

Pasal 82B UU Cipta Kerja, berbunyi:

(1)  Setiap orang yang kegiatan yang memiliki melakukan usaha dan/atau

a.   Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), atau pasal 59 ayat (4);

b.    persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; atau

c.       persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1);

yang tidak sesuai dengan kewajiban dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, dan/atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dikenai sanksi administratif.

(2)    Setiap orang yang melakukan pelanggaran larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, yaitu:

a.     melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 huruf a, dimana perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian dan tidak mengakibatkan bahaya kesehatan manusia dan/atau luka dan/atau luka berat, dan/atau matinya orang dikenai sanksi administratif dan mewajibkan kepada Penanggung Jawab perbuatan itu untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dan/atau tindakan lain yang diperlukan; atau

b.  menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penJrusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf i dikenai sanksi administratif.

(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimilikinya dikenai sanksi administratif.

 

Penjelasan: Cukup jelas

 

Pasal 82 C UU Cipta Kerja, berbunyi:

(1)       Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82A dan Pasal 82B ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berupa:

a.       teguran tertulis;

b.      paksaan pemerintah;

c.       denda administratif;

d.      pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau

e.       pencabutan Perizinan Berusaha.

(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Penjelasan: Cukup jelas.                                                                   

 

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 angka 32 UU Cipta Kerja yang diantara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 3 (tiga) Pasal, yakni Pasal 82A, Pasal 82B dan Pasal 82C kemudian dikaitkan dengan Pasal 22 angka 14 UU Cipta Kerja yang menghapus ketentuan Pasal 36 UUPPLH yang mengatur tentang izin lingkungan serta Pasal 22 angka 36 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan Pasal 109 UUPPLH, maka dapat dikemukakan bahwa:

1.  tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UUPPLH setelah berlakunya UU Cipta Kerja telah menjadi tidak pidana materiil yang mengharuskan terjadinya akibat yang berupa: “yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan”;

2.  Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 UUPPLH (sebelum berlakunya UU Cipta Kerja), dengan berlakunya UU Cipta Kerja menjadi pelanggaran administratif sebagaimana di atur dalam Pasal 82A UUPPLH;

3. Dengan berlakunya UU Cipta Kerja, arah kebijakan pengaturan mengenai penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan (dalam hal ini UUPPLH) menerapkan asas ultimum remedium yakni penegakan hukum pidana sebagai upaya yang harus dipergunakan sebagai upaya terakhir.


Dengan demikian, terhadap kasus pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UUPPLH yang telah terjadi (tempus delicti-nya terjadi) pada saat belum berlakunya UU Cipta Kerja dan kemudian dengan berlakunya UU Cipta Kerja (yang berdasarkan Pasal 186 UU Cipta Kerja yang mengatur bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni tanggal 2 November 2020), maka berlaku ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan asas ultimum remedium, sehingga proses penyelidikan oleh penyidik (penegakan hukum pidana) terkait Pasal 109 UUPPLH dapat dihentikan demi hukum.

-o0o-