Jumat, 12 November 2010

KETERGANTUNGAN HUKUM LINGKUNGAN KEPIDANAAN TERHADAP HUKUM ADMINISTRASI

 

 

KETERGANTUNGAN HUKUM LINGKUNGAN KEPIDANAAN

TERHADAP  HUKUM ADMINISTRASI

(oleh: alvi syahrin) 


A.                Suatu perbuatan yang diatur dalam hukum pidana lingkungan untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana selalu dikaitkan dengan pengaturan lebih lanjut di dalam hukum administrasi, oleh karena di dalam rumusan tindak pidana lingkungan, suatu perbuatan dinyatakan sebagai suatu tindak pidana jika dilakukan bertentangan dengan persyaratan administrasi (misalnya: syarat-syarat pemberian izin maupun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan).
Adanya “ketergantungan administratif” pada hukum pidana lingkungan, terasa di dalam praktek hukum, dan menimbulkan beberapa pertanyaan, diantaranya: 1. apakah hakim (pidana) berhak menguji perbuatan hukum administratif (penguasa); (2) bagaimana ruang lingkup/daya kerja suatu izin (lisensi) dalam tindak pidana lingkungan; (3) apakah izin merupakan hal yang mengakibatkan ‘dimaafkannya’ terhadap sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.
Peraturan perundang-undangan di bidang hukum lingkungan, sebagian besar mengkaitkannya dengan perizinan. Mencemari dan/atau merusak lingkungan diperkenankan karena telah didapatkan izin/lisensi administratif terlebih dahulu, artinya melakukan pencemaran dan atau perusakan lingkungan (sebenarnya tanpa izin perbuatan tersebut merupakan hal yang dilarang) diperbolehkan sepanjang hal tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagaimana dirinci dalam peraturan-peraturan tertentu ataupun dilakukan setelah mendapatkan izin dari penguasa, karena dalam peraturan perundang-undangan hukum lingkungan ada diatur syarat-syarat bagaimana pihak penguasa, melalui aturan-aturan umum atau suatu sistem perizinan, dapat membiarkan atau membolehkan dilakukannya suatu tindak pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tertentu.
Isu hukum yang perlu dijelaskan, yaitu apakah pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang terjadi karena melaksanakan izin yang diberikan, dapat diancam dengan sanksi pidana?. Isu hukum tersebut dapat dijawab dengan melihat apakah telah terjadi pelanggaran kewajiban-kewajiban administratif tertentu sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan lingkungan maupun yang tercantum dalam perizinan yang diberikan.
Selanjutnya, apakah izin yang dikeluarkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau tidak memenuhi persyaratan perizinan, izinnya dapat diuji oleh hakim pidana?

B.                Adanya ketergantungan hukum administrasi dari hukum pidana lingkungan, menjadikan sifat dapat dipidananya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dibatasi sedemikian rupa sehingga yang dikenakan sanksi atau yang dianggap sebagai tindak pidana lingkungan yaitu melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban.
Keterjalinan antara hukum pidana dengan hukum administrasi dalam hukum lingkungan kepidanaan, delege lata, merupakan suatu fakta yang harus diterima keberadaannya.
Hakim (pidana) dalam mempertimbangkan sifat dapat dipidananya suatu pencemaran dan atau perusakan lingkungan harus memeriksa pengaruh izin (lisensi) yang diberikan, terutama karena izin ini merupakan salah satu faktor yang turut menentukan apakah pencemaran tersebut merupakan tindak pidana atau bukan. Setelah itu, muncul lagi suatu pertanyaaan penting, yaitu apakah hakim (pidana) dalam proses pemeriksaan keabsahan perbuatan (hukum) administratif terikat pada dan harus tunduk terhadap hukum administrasi ataukah ia (hakim pidana) berwenang secara otonom untuk menilai keabsahan perbuatan hukum administrasi dari pemerintah yang berkaitan dengan pemberian izin?
Perlindungan terhadap obyek hukum lingkungan diberikan secara tidak langsung, lingkungan hidup mendapat perlindungan hukum pidana, sepanjang terjadi suatu pelanggaran terhadap kewajiban administrasi, artinya tidak semua tindak pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dinyatakan sebagai tindak pidana. Tindak pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dinyatakan sebagai tindak pidana apabila tindak tersebut pada saat yang sama juga merupakan pelanggaran terhadap suatu aturan/ persyaratan (kewajiban-kewajiban) hukum administrasi, seperti kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam izin, atau melakukan tindak tersebut dengan tidak memiliki izin.
Seringkali suatu perbuatan yang dapat dipidana (terutama pada pelanggaran aturan-aturan di dalam undang-undang lingkungan) dianggap sebagai suatu pelanggaran kewajiban administratif, sehingga  tidak menjatuhkan sanksi pidana atas perbuatan tersebut. Ketergantungan hukum pidana terhadap hukum administrasi, menimbulkan berbagai macam persoalan. Dari sudut pandang teoritis dapat diajukan kritikan, oleh karena dapat mengakibatkan bahwa perlindungan yang diberikan oleh hukum pidana atas obyek hukum lingkungan hanya dapat dilakukan dengan cara yang sangat terbatas. Namun demikian, menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana melalui hukum administratif juga memberikan keuntungan tertentu, khususnya berkenaan dengan asas lex certa, oleh karena “hanya tindak pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditetapkan sebagai dasar pemberian atau dicantumkan di dalam izin/lisensi atau bentuk-bentuk lainnya yang dinyatakan sebagai tindak pidana oleh peraturan perundang-undangan”.
Formulasi kebijakan-kebijakan di dalam hukum administratif ikut mendorong konkritisasi unsur melawan hukum dari suatu perbuatan, sehingga dalam tingkat tertentu ketergantungan hukum pidana lingkungan terhadap hukum administratif, harus diterima sebagai suatu keharusan guna mendukung pandangan ‘kesatuan tertib hukum’ dari sudut pandang hukum administratif maupun sudut pandang hukum pidana, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai perbuatan terlarang oleh penguasa/pemerintah (pelanggaran terhadap syarat/ persyaratan izin) harus juga dipandang oleh hukum pidana sebagai perbuatan melawan hukum.
Ada suatu pertanyaan yang dapat dimunculkan, yaitu apakah hakim (pidana) dapat menerima begitu saja izin dan syarat pemberian izin sebagai fakta, ataukah hakim secara otonom dapat menguji keabsahan (wettigheid/rechtsmatigheid) perbuatan hukum penguasa tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui sejauh mana asas hukum tata Negara (hukum administrasi) yang berlaku mengenai pemisahan kekuasaan hakim (pidana) menguji suatu akta (izin/lisensi) yang diterbitkan oleh pihak penguasa.

C.        Secara umum di dalam hukum administratif telah diterima fakta bahwa hakim dapat menguji keabsahan (wettigheid) perbuatan hukum administrasi, dan hakim dapat menguji perbuatan (hukum) penguasa yang ia terapkan dalam suatu kasus, yang dalam hukum administratif dikenal sebagai ‘eksepsi karena ketidak-sahan’ (exceptie van onwettigheid).
Hukum administratif mengenal berbagai macam cara atau kemungkinan untuk memberikan perlindungan terhadap tindakan tak adil dari penguasa, misalnya: mengajukan berbagai ‘keberatan’ dalam rangka proses pembentukan tindakan penguasa, mengajukan banding atau perlawanan setelah keputusan penguasa terbentuk (misalnya:Arob-bezwaarschrift-procedure’/prosedur banding AROB) ataupun dilakukannya pengawasan kehakiman terhadap tindakan penguasa dalam kasus-kasus individual dengan cara menguji tindakan penguasa yang (akan) diterapkan dengan undang-undang.
Pengawasan terhadap tindakan penguasa (dalam hal perizinan) oleh hakim biasa (pidana) sangat terbatas. Hal ini terjadi, pertama-tama oleh karena hakim (pidana) dilarang mengambil/mengeluarkan keputusan atau kebijakan di bidang administrasi/ pemerintahan, artinya hakim pidana tidak diperkenankan untuk menilai ‘oportunitas’ tindakan penguasa. Alasan kedua, hakim dilarang mengeluarkan putusan-putusan yang memiliki daya ikat/berlaku secara umum.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, dalam rangka hak uji, hakim biasa (pidana) akan memeriksa apakah suatu tindakan penguasa sejalan dengan peraturan perundangan yang mendasari tindakan atau pengambilan kebijakan penguasa yang bersangkutan (misalnya: apakah tindakan penguasa berupa ‘pencabutan/onthefitting’ telah memenuhi segala persyaratan yang tercantum di dalam perundangan ataupun aturan-aturan lain).
Pengujian tindak penguasa oleh hakim (pidana) yang dimaksudkan merupakan pengujian yang tidak terkait dengan peraturan perundangan yang mendasari dan bukan ‘pengujian secara penuh’ sebagaimana dapat dilakukan oleh hakim administrasi.
Berdasarkan pelaksanaan hak uji tersebut, hakim (pidana) hanya akan melakukan penilaian atas sifat mengikat atau tidak mengikat tindak penguasa yang diajukan kehadapannya, dan hanya terbatas pada perkara yang bersangkutan. Artinya, hakim (pidana) hanya diperkenankan untuk menguji kebijakan/tindakan penguasa terhadap undang-undang dan UUD.
Pada berbagai situasi, hakim pidana terlebih dahulu menguji keabsahan tindak penguasa/pemerintah yang di terapkan. Hakim pidana karena jabatannya berkewajiban untuk menguji keabsahan tindak penguasa yang di terapkan. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pengujian ini harus selalu dimunculkan di dalam berbagai pertimbangan yang digunakan hakim di dalam menjatuhkan putusannya.
Menguji keabsahan suatu izin muncul jika ke hadapan hakim diajukan suatu kasus, dimana terdakwa dituntut karena telah melakukan suatu tindak tertentu tanpa mendapatkan/meminta izin terlebih dahulu, padahal terdakwa justru menyatakan bahwa ia telah memiliki izin. Dalam hal ini, hakim terlebih dahulu diharuskan menguji keabsahan izin yang bersifat membebaskan (meniadakan sifat dapat dipidana suatu tindak).
Dalam hal Jaksa/penuntut umum mengajukan dalil bahwa izin yang diajukan terdakwa sebenarnya diberikan bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku (misalnya: dikeluarkan oleh organ pemerintah/penguasa yang tidak berwenang atau melanggar persyaratan mengenai bentuk/formalitas), timbul pertanyaan, apakah hakim pidana harus menerima keabsahan dari perbuatan hukum administrasi tersebut secara serta merta ataukah ia dapat menguji keabsahan dari (pemberian) izin tersebut?.
Terhadap kasus di atas, Hakim pidana diharuskan untuk memeriksa atau menguji keabsahan perbuatan hukum administrasi pada kasus yang ia periksa. Artinya, hakim akan menguji izin tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang (seharusnya) mendasari pemberian izin tersebut. Dalam hal hakim beranggapan bahwa izin tersebut ternyata (diberikan) bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku, ia (hakim) akan menyatakan bahwa izin tersebut tidak sah (tidak mempunyai kekuatan hukum) dan menyatakan dakwaan terbukti, artinya terdakwa bertindak tanpa izin. Sebaliknya, bila hakim berpendapat bahwa izin/lisensi itu sah (mempunyai kekuatan hukum) dan, in casu, berlaku bagi tindak yang telah terjadi, maka ia (hakim) memutuskanterdakwa bebas berdasarkan pertimbangan bertindak tanpa izin dinyatakan tidak terbukti.

D.        Pemeriksaan keabsahan ketetapan yang menguntungkan dari hakim pidana, pada dasarnya akan bermula dari persoalan materiel hukum acara pidana. Artinya, persoalan yang harus dijawab hakim pidana yaitu masalah pembuktian perbuatan yang didakwakan (bertindak tanpa izin). Apakah perbuatan tanpa izin tersebut dapat dinyatakan terbukti?
Berkenaan dengan akibat suatu kebijakan/ ketetapan yang ‘menguntungkan’ persoalannya tidak hanya terbatas pada masalah putusan terbukti atau tidak. Oleh karena, suatu pengujian ketetapan yang ‘menguntungkan’ dinyatakan sebagai tidak sah dan perbuatan yang dilakukan tanpa izin sebagaimana didakwakan, terdakwa dapat mengajukan pembelaan bahwa ia tetap tidak dapat dipersalahkan karena ia telah mematuhi segala persyaratan yang tercantum di dalam izin/lisensi yang menurut persangkaannya berlaku secara sah.
Pembelaan yang diformulasikan dengan tangkisan avas (tiadanya unsur kesalahan), dan  kemudian yang terbukti bahwa terdakwa ternyata tidak turut bersalah dalam terjadinya ketidaksahan izin yang telah diberikan, serta ia (terdakwa) telah menaruh kepercayaan penuh atas izin yang dikeluarkan penguasa, dapat diasumsikan ia (terdakwa) tidak dapat/boleh bertindak lain, maka karena itu, in casu, dianggap unsur kesalahan tidak terbukti. Namun demikian, hakim dalam mempertimbangkan pembelaan ini akan sangat memperhatikan faktor tingkah laku terdakwa.
Persoalan yang berkenaan dengan fakta bahwa seorang warga secara wajar harus dapat memiliki kepercayaan bahwa izin/lisensi yang diberikan kepadanya merupakan lisensi yang dari sudut hukum berlaku sah dan selain itu, tindak yang dijalankan sesuai dengan izin yang secara obyektif tidak berlaku/sah tidak boleh menimbulkan akibat dapat dipidananya orang bersangkutan.
Ketetapan yang ‘menguntungkan/ membebaskan’ sangat berperan dalam persoalan pembuktian. Izin yang telah diberikan dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan karena itu dinyatakan tidak berlaku/sah, bisa jadi warga yang menggunakan izin tersebut percaya bahwa izinnya telah diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pembelaan avas dapat digunakan oleh terdakwa, akan tetapi jika pada pemeriksaan sidang pengadilan terbukti bahwa terdakwa telah mengetahui izin yang telah diberikan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, maka pembelaan avas, harus ditolak.
Jika pembelaan/tangkisan avas (tiadanya unsur kesalahan) ini diterima, maka vonis yang dijatuhkan biasanya ‘lepas dari segala tuntutan hukum’, atau jika yang didakwakan merupakan tindak pidana kelalaian/ culpa (karena salahnya), maka penerimaan pembelaan avas, akan berarti unsur culpa di dalam surat dakwaan dinyatakan tidak terbukti dan harus dijatuhkan putusan bebas.

E.         Hakim pidana dapat menguji keabsahan dari suatu lisensi yang bersifat ‘membebani’, dalam suatu perkara yang terdakwanya diadili karena telah melanggar suatu persyaratan yang tercantum dalam izin lingkungan (kewajiban-kewajiban maupun larangan untuk melakukan sesuatu hal). Selanjutnya, terdakwa dapat mengajukan pembelaan bahwa persyaratan atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh organ penguasa pemberi izin tersebut sebenarnya tidak boleh dibebankan atau dikaitkan pada pemberian izin.
Jika pembelaan terdakwa tersebut terbukti, maka persyaratan yang tidak sah ini harus dinyatakan tidak berlaku atau mengikat. Namun demikian, tidaklah mudah untuk menunjuk tempat cara pengujian demikian dalam konteks sudut pandang hukum acara pidana. Persoalan ini tergantung pada faktor apakah hakim akan menguji izin/lisensinya sendiri ataukah justru peraturan perundangan yang mendasari izin/lisensi tersebut. Selain itu, hal ini juga tergantung pada cara dakwaan diformulasikan.
Jika yang didakwakan adalah bertindak bertentangan dengan persyaratan (yang tidak sah) yang tercantum di dalam izin, dan persyaratan ini dinyatakan tidak mengikat/berlaku, maka dapat dikatakan bahwa tindak yang dilakukan bertentangan dengan persyaratan izin, sehingga harus dinyatakan tidak terbukti, karena syarat demikian dianggap tidak lagi tertera di dalam izin. Dalam hal ini putusan hakim harus berupa putusan bebas.
Namun demikian, jika diasumsikan bahwa terhadap terdakwa diajukan tuntutan yang sama dan dalam hal ini bukan izinnya sendiri, namun peraturan perundangan yang mendasari izinnya (misalkan suatu peraturan pemerintah) yang dinyatakan tidak mengikat atau tidak berlaku, maka hal ini akan membawa konsekuensi bahwa terdakwa harus mendapatkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum atas tindak pelanggaran persyaratan izin (yang tidak sah) yang telah dinyatakan terbukti. Apalagi pelanggaran atas persyaratan (pemberian/di dalam) izin yang dinyatakan terbukti tidak mungkin dikualifikasikan.
Dalam hal norma yang dilanggar (ketentuan perundangan membentuk rumusan tindak pidana) dinyatakan tidak berlaku, sehingga tidak mungkin dilakukan kualifikasi, oleh karena pelanggaran persyaratan izin telah terinkorporasi ke dalam rumusan tindak pidana, sedangkan persyaratan izin tersebut ternyata tidak disebutkan di dalam surat dakwaan (peristiwa pelanggaran/tindak yang dilakukan bertentangan dengan persyaratan izin diuraikan di dalam surat dakwaan, tanpa turut menyebutkan persyaratan izin) maka pengujian izin/lisensi akan sangat berperan untuk melakukan kualifikasi tindak dalam perkara tersebut.
Pengujian izin yang ‘membebaskan’ akan dilakukan dalam tahapan pembuktian, yaitu sewaktu dilakukan pertimbangan tentang apakah dakwaan bertindak tanpa izin dapat dinyatakan terbukti atau tidak, dengan memperhatikan juga pernyataan terdakwa bahwa ia telah memiliki izin yang berlaku secara sah. Sedangkan kapan atau bilamana pengujian persyaratan suatu izin yang ‘membebani’ akan dilakukan tergantung pada cara penuntutan dan apakah yang dipermasalahkan adalah keabsahan persyaratan izin ataukah peraturan perundangan yang mendasari (pemberian/penerbitan) izin tersebut. Berkaitan dengan itu, maka akan muncul dua kemungkinan yaitu pengujian tersebut akan dilakukan bersamaan dengan tahapan pembuktian atau selagi dilangsungkan tahapan penentuan kualifikasi tindak.

F.         Hakim (pidana) mempunyai wewenang untuk menguji keabsahan suatu perizinan, namun ada pertanyaan yaitu mengenai persoalan berdasarkan kriteria apa pengujian tersebut boleh dilakukan. Hakim boleh saja menguji tindak hukum administratif, misalnya suatu izin/lisensi terhadap undang-undang, namun menjadi pokok persoalan yaitu pernyataan tidak berlaku/sah suatu tindak hukum administratif dikarenakan bertentangan dengan undang-undang.  
Hakim pidana dalam menilai kualifikasi tindak pidana pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dapat memeriksa apakah persyaratan izin yang telah dilanggar dibuat dengan tidak bertentangan dengan, misalnya: asas persamaan, asas kecermatan atau asas kepercayaan (kepastian hukum).
Pelaksanaan hak uji yang dilakukan hakim pidana bukan hanya kontrol dari segi peraturan perundang-undangan, tetapi lebih merupakan control keabsahan (rechtsmatigheids-controle). Kontrol keabsahan ini juga tidak boleh disalah-artikan. Kontrol ini selalu berkenaan dengan pengujian tindak penguasa terhadap peraturan (hukum/perundang-undangan) yang mendasarinya dan ketentuan mengenai pola tingkah laku serta asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan bukan merupakan pengujian tindak penguasa dalam arti yang sepenuhnya.
Hakim (pidana) akan dapat menjatuhkan putusan berupa pencabutan suatu ketetapan yang secara nyata melanggar asas persamaan. Hakim (pidana) menyatakan suatu ketetapan sebagai tidak berlaku/ mengikat dengan alasan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.  Hakim pidana mempunyai wewenang, terutama untuk menggunakan alat uji: asas larangan untuk menetapkan kebijakan secara sembarang dan asas ‘detournement de pouvoir, termasuk menggunakan asas-asas lainnya, seperti asas kecermatan dan asas persamaan.
Hak uji hakim (pidana) juga berpengaruh terhadap soal apakah hakim masih dapat menggunakan kompetensinya untuk menilai pertimbangan (keseimbangan) kepentingan dalam rangka pemeriksaan dasar-dasar yang meniadakan pidana yang tercakup dalam ‘noodtoestand’ ataupun putusan avas.
Pengusaha (terdakwa) selalu mengajukan pembelaan, bahwa ia merasa tidak akan (mungkin) mampu memenuhi dan/atau mentaati persyaratan-persyaratan (kewajiban) yang tercantum di dalam izin, oleh karena persyaratan tersebut akan merupakan beban finansial yang demikian berat dan jika hal tersebut dilaksanakan akan berakibat ditutupnya usaha tersebut (untuk seluruh atau sebagian), sehingga menimbulkan hilangnya kesempatan kerja bagi banyak orang.
Terhadap pembelaan yang diajukan oleh pihak pengusaha sebagaimana yang disebut di atas, hakim pidana dapat menilai melalui pengujian izin/lisensi. Apakah pentaatan terhadap kewajiban-kewajiban dalam izin tersebut akan dapat menyebabkan penutupan usaha. Hakim (pidana) dapat memeriksa apakah persyaratan yang dibebankan sah atau tidak, misalnya dengan mengujikan persyaratan (kewajiban) yang dibebankan itu terhadap asas kecermatan, asas persamaan, asas kepercayaan atau asas keseimbangan.
Dalam hal itu, hakim berpendapat bahwa lisensi/izin yang telah dikeluarkan tersebut secara sah dan tidak bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik, maka kemungkinan untuk melakukan penilaian atas pertimbangan (keseimbangan) kepentingan sosial-ekonomi, khususnya dalam rangka ‘noodtoestand’, akan sangat terbatas sebab penguasa dalam memformulasikan persyaratan izin telah memperhitungkan masalah-masalah sosial-ekonomi tersebut.
Tugas hakim (pidana) tidaklah harus direduksi hanya sekedar menjatuhkan sanksi atas tindak tidak ditaatinya kewajiban (persyaratan pemberian atau yang tercantum di dalam) izin/lisensi, namun ia (hakim pidana) dapat menyatakan sebagai tidak berlaku atau membatalkan persyaratan izin yang terlalu berat atau tidak masuk akal.
Bagi ahli hukum pidana, tampak mengherankan saat diajukan pandangan yang membela peranan ‘noodtoestand’ yang demikian terbatas, padahal perbuatan yang dilakukan berupa pelanggaran atas persyaratan izin/lisensi. Terlebih lagi, saat hakim (pidana) memeriksa unsur melawan hukum diharuskan untuk menilai keabsahan dari perbuatan (in casu pelanggaran persyaratan lisensi/izin), oleh karena penguasa telah menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang sah.
Muncul suatu pertanyaan: bilamana atau kapankah hakim (pidana) boleh melakukan penilaian atas keabsahan perbuatan itu? Jawabnya, pengujian/penilaian ini harus dilakukan dalam rangka perwujudan hak/wewenang untuk menguji.
Dalam hal hakim (pidana) berpendapat: persyaratan izin/lisensi yang dilanggar ternyata tidak sah, maka ia (hakim pidana) akan membatalkan persyaratan izin tersebut dan akan menjatuhkan putusan lepas. Namun sebaliknya jika hakim (secara implisit) memutuskan bahwa izin sah, maka tidak lagi terbuka kemungkinan untuk melakukan pemeriksaan ‘noodtoestandwalaupun masih relevan untuk dipertimbangkan bila muncul situasi yang tidak pernah dapat diduga sebelumnya oleh penguasa sewaktu persyaratan izin/lisensi dibuat. Penilaian atas pertimbangan kepentingan dalam konteks ‘noodtoestand’ hanya mungkin dilakukan dalam hal penerapan peraturan perundangan (hukum) lingkungan dalam kasus konkrit akan memunculkan akibat-akibat yang tidak (pernah) diduga sebelumnya oleh pembuat undang-undang.

G.                Adanya pembedaan antara kebijakan/ketetapan penguasa yang tidak absolut (bertentangan dengan hukum) dengan ketetapan yang tidak mengikat atau batal (void/nietig), hakim pidana dapat mengabaikan ketetapan/kebijakan yang batal, namun harus tetap memperhatikan dan mentaati kebijakan yang meskipun melawan hukum, tetap berlaku dan mengikat. Alasannya, karena pada kenyataannya pencari keadilan (justitiabel), dengan memperhatikan daya berlaku secara langsung perbuatan hukum administrasi, juga/tetap harus mentaati ketentuan-ketentuan dari suatu ketetapan yang melawan hukum.
Justitiabel tidak dapat mengajukan pembelaan/ banding karena izin dikeluarkan secara atau memiliki sifat melawan hukum jika dalam perbuatannya sendiri terkandung ‘penyalahgunaan hukum’, misalnya izin yang diperoleh dengan cara melakukan penipuan, ancaman atau penyuapan padahal izin tersebut seharusnya tidak diberikan.
Penyalahgunaan hukum ini dalam kaitan dengan perbuatan hukum administrasi yang ‘membebaskan’ hanya akan diterima jika izin yang bersangkutan diajukan sebagai dasar pembenar untuk mengabaikan unsur melawan hukum di dalam pemeriksaan.
Ketiadaan izin merupakan salah satu unsur dari tindak pidana. Izin (perizinan) di tingkat rumusan tindak pidana, dengan memperhatikan asas legalitas, memainkan peranan yang penting. Pelanggaran atas persyaratan izin yang membebani’ menjadikan terpenuhinya unsur melawan hukum dan dinyatakan sebagai tindak pidana.
Pencabutan atau pembatalan ketetapan yang melawan hukum sebagai dasar-dasar peniadaan pidana. Namun, harus diingat bahwa dasar peniadaan pidana ini hanya dapat diajukan jika ketetapan yang melawan hukum itu benar-benar dicabut.
Hak uji tidak diciptakan sebagai alternatif tambahan bagi pencari keadilan untuk mengajukan banding terhadap suatu ketetapan. Keberadaan hak uji ini harus dipandang sebagai perwujudan dari fakta bahwa, hakim (pidana) pada asasnya tidak boleh mengkaitkan suatu akibat pada tindak penguasa yang melawan hukum. Hak uji memberikan kepada hakim (pidana) kemungkinan untuk, menguji apakah tindak penguasa yang harus ia terapkan/periksa sah atau tidak dalam tiap kasus. Kontrol keabsahan merupakan kewajiban dari hakim. Hakim wajib menguji apakah tindak dari pemegang kekuasaan yang harus ia terapkan bertentangan atau tidak dengan perundang-undangan atau norma yang lebih tinggi, dan ini merupakan konsekuensi logis dari penerapan ajaran “trias-politica”.
Sudut pandang hukum pidana, hakim pidana (diberi kemungkinan untuk) menguji keabsahan dari tindak penguasa. Karena bila tidak demikian mungkin terjadi pencari keadilan akan dijatuhi pidana karena melakukan pelanggaran atas suatu ketetapan yang secara obyektif tidak sah, misalnya karena ketetapan tersebut tidak memenuhi persyaratan perundang-undangan. Kesatuan tertib hukum justru mensyaratkan bahwa hakim (pidana) juga diharuskan untuk menguji apakah ketetapan yang harus ia terapkan dalam suatu kasus tertentu sesuai atau sejalan dengan perjanjian-perjanjian (internasional), undang-undang dan dengan asas-asas pemerintahan yang baik.
Tujuan adanya hak uji, tidaklah terutama mencapai tujuan perlindungan terhadap warga, akan tetapi lebih pada penegakan hukum. Oleh karena, hakim (pidana) karena jabatan harus memeriksa sifat dapat dipidananya perbuatan yang telah dilakukan, maka karena itu ia (hakim pidana) karena jabatan juga harus memeriksa keabsahan dari ketetapan yang terkait.
Mengkaitkan hak uji pada, ada atau tidaknya upaya hukum administrasi merupakan cara pikir yang tidak logis. Bila pola pikir di atas diterima, konsekuensinya yaitu hakim pidana tidak mungkin lagi melakukan pengujian jika terdakwa (yang untuknya terbuka kemungkinan untuk mengajukan banding ke hadapan hakim administrasi) mengajukan pembelaan bahwa ketetapan yang (telah) dilanggarnya tidak sah. Sebaliknya, hakim dapat melakukan pengujian tersebut jika jaksa/penuntut umum (yang baginya banding administrasi demikian tidak berlaku) mengajukan pembelaan yang sama. Dengan demikian, hakim (pidana) karena jabatannya, tetap memiliki kewenangan untuk memeriksa keabsahan suatu ketetapan tanpa tergantung dari ada/tidaknya upaya hukum administrasi.
Tidak digunakannya upaya hukum administrasi (termasuk jika jangka waktu pengajuan banding telah lampau waktu), tidak akan mengakibatkan bahwa ketetapan terkait, bagi hakim pidana akan memiliki ‘kekuatan mengikat atau hukum secara formal, sehingga hakim pidana tidak memiliki hak uji atas ketetapan tersebut. Lampau waktu hanya akan mengikat hakim sipil, namun tidak akan meniadakan hak uji hakim pidana.
Masalah-masalah yang dapat timbul berkenaan dengan kemungkinan terbukanya upaya hukum administrasi terhadap tindakan penguasa, terutama muncul jika yang diuji adalah ketetapan itu sendiri (terhadap ketetapan demikian terbuka kemungkinan untuk mengajukan banding administrasi). Lebih jauh lagi, peraturan yang mendasari pemberian izin, kebanyakan merupakan peraturan dengan daya berlaku secara umum, seperti misalnya suatu ‘verordening’ yang terhadapnya seringkali tidak mungkin diajukan banding. Hal ini akan mengakibatkan bahwa jika ketetapan karena lampau waktu menjadi ‘tidak dapat diganggu gugat’, peraturan/persyaratan umum yang menjadi dasar pemberian/penertiban izin masih dapat diuji berdasarkan pengajuan eksepsi tidak sahnya peraturan termaksud.
Jika suatu ketetapan karena lampau waktu menjadi tidak dapat diganggu gugat, terdakwa (masih) dapat mengajukan pembelaan bahwa peraturan yang mendasari penerbitan/pemberian izin ternyata bertentangan dengan norma hukum lain yang lebih tinggi. Terhadap persyaratan/ peraturan (dengan daya berlaku) umum demikian tidak terbuka kemungkinan untuk mengajukan banding secara langsung. Dengan cara ini, hakim pidana dapat dengan mudah menguji keabsahan peraturan/persyaratan umum tersebut di atas dan bila ia (hakim pidana) sependapat dengan terdakwa bahwa peraturan tersebut adalah ‘void/batal atau tidak berlaku’, maka ia dapat menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutun hukum.
Jaksa/penuntut umum dapat melakukan penuntutan atas dasar terjadinya pelanggaran terhadap persyaratan izin termaksud. Hakim pidana, dalam hal ini, harus menguji keabsahan persyaratan izin tersebut. Mungkin saja ia akan memutuskan bahwa persyaratan izin ternyata sah dan karenanya terdakwa dijatuhi pidana.
Hak uji hakim pidana harus tetap diakui, dalam hal telah berlalunya jangka waktu pengajuan upaya hukum administrasi. Namun demikian, dalam hal terjadi banding administrasi/tata usaha negara terhadap keputusan hakim administrasi mengenai keabsahan persyaratan izin, hakim pidana sebaiknya menangguhkan proses pemeriksaan yang dilakukan sampai hakim administrasi selesai memeriksa keabsahan ketetapan dimaksud, jika jaksa/penuntut umum tetap melakukan penuntutan, sebab hakim pidana harus tunduk dan taat pada putusan hakim administrasi tersebut di atas.



Kepustakaan:
Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta.
Komariah Emong Sapardjayja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung.
Philipus M Hadjon, et.all., 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia: Introduction to the Indonesian Administrative Law, cetakan kesepuluh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, edisi ketiga, Airlangga University Press, Surabaya.
Tristam P. Moeliono, 1994, Kekhawatiran Masa Kini (Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan Dalam Teori dan Praktek), Citra Aditya, Bandung.


Tulisan ini merupakan bagian dari Buku: Beberapa Masalah Hukum Lingkungan Kepidanaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar