Kamis, 11 November 2010

PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (UUPPLH)

Penyidikan dan Pembuktian dalam UUPPLH
 (Oleh: Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS.)

1.         Penyidikan
            Ketentuan mengenai penyidikan dan pembuktian diatur dalam Bab XIV UUPPLH pada Pasal 94 UUPPLH sampai Pasal 96 UUPPLH. Berdasarkan Pasal 94 ayat (1) UUPPLH, selain penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik, sering disebut dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup atau PPNS-LH.
Pasal 94 ayat (1) UUPPLH:
Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti tadi membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Dengan demikian, titik berat (tekanan) yang  diletakkan pada tindakan Penyidikan yaitu  “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Wewenang PPNS-LH berdasarkan Pasal 94 ayat (2) UUPPLH, yaitu:
a.       melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b.      melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c.       meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d.      melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e.       melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f.       melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g.      meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h.      menghentikan penyidikan;
i.        memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
j.        melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau
k.      menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

Kewenangan PPNS-LH dalam menangkap dan menahan pelaku tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (2) huruf “k” UUPPLH, merupakan kewenangan yang lebih dibandingkan dengan kewenangan PPNS-LH berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), maupun wewenang PPNS yang diatur dalam KUHAP. UUPLH maupun KUHAP, tidak memberi kewenangan bagi PPNS untuk melakukan penangkapan dan penahanan, karena berdasarkan KUHAP hal tersebut merupakan kewenangan Polri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 94 ayat (3) UUPPLH, PPNS-LH dalam melakukan penangkapan dan penahanan, ia (PPNS-LH) berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, oleh karena PPNS-LH tidak memiliki sarana dan prasarana yang lebih memadai dibandingkan Polri dalam hal melaksanakan wewenang penangkapan dan penahanan.
Adanya kewenangan PPNS-LH dalam menangkap dan menahan, maka PPNS-LH dapat mengeluarkan surat perintah penangkapan dan penahanan. Kata “dan” yang menghubungkan kata “menangkap” dengan “menahan” diartikan sebagai jika PPNS-LH setelah menangkap pelaku tindak pidana lingkungan, ia (PPNS-LH) harus melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
Berdasarkan ketentuan KUHAP dibedakan antara pengertian menangkap dan menahan. Pengertian “menangkap” yang menurut KUHAP disebut sebagai “penangkapan” berdasarkan Pasal 1 angka (20) yaitu: 
suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Sedangkan “menahan” yang menurut KUHAP disebut sebagai “penahanan” berdasarkan Pasal 1 angka (21) yaitu:
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Perintah penangkapan terhadap seseorang berdasarkan Pasal 17 KUHAP, dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup yaitu bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai Pasal 1 ayat (14) KUHAP.[1] Dengan demikian, Ketentuan Pasal 17 KUHAP mengatur bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, akan tetapi hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang betul-betul telah melakukan tindak pidana.
Bukti permulaan yang cukup, harus diperoleh sebelum PPNS-LH atau penyidik Polri memerintahkan penangkapan. Artinya, dalam tindak pidana lingkungan diperlukan “bukti-bukti minimal” berupa alat bukti sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 96 UUPPLH, dan penyidik telah berkeyakinan bahwa tidak akan terjadi penghentian penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana, setelah orang tersebut dilakukan penangkapan. Selanjutnya, untuk menjamin agar bukti permulaan yang cukup tersebut atau bukti-bukti yang minimal itu juga dapat dijadikan bukti-bukti yang mempunyai kekuatan hukum dalam sidang pengadilan, PPNS-LH atau penyidik Polri mempunyai pengetahuan mengenai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi alat bukti tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 185 KUHAP sampai dengan Pasal 189 KUHAP.
Penangkapan berdasarkan Pasal 19 ayat (1) KUHAP, hanya dapat dilakukan paling lama 1 (satu) hari. Penangkapan berdasarkan Pasal 16 KUHAP dilakukan dengan memperlihatkan surat perintah tugas dengan mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uaraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan berikut tempat ia diperiksa. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Tertangkap tangan berdasarkan Pasal 1 angka (19) KUHAP adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana yang dilakukan PPNS-LH atau penyidik Polri, hanya boleh dilakukan untuk kepentingan penyidikan. Apabila kepentingan penyidikan tidak memerlukan lagi orang itu di sidik lebih lanjut, orang tersebut segera dibebaskan dengan tidak perlu menunggu habisnya waktu penangkapan dan penahanan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Penahanan berdasarkan Pasal 1 angka (21) KUHAP, yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penahanan berdasarkan Pasal 21 KUHAP, dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Penahanan tersebut dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencatumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. Selanjutnya, tembusan surat perintah penahanan harus diberikan kepada keluarganya.
            Berdasarkan Pasal 22 KUHAP, jenis penahanan dapat berupa: a. penahanan rumah tahanan negara; b. penahanan rumah; c. penahanan kota. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
            Berdasarkan Pasal 23 KUHAP, Penyidik mempunyai wewenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain(penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah, penahanan kota).  Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan.
Masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh tersangka atau terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Selanjutnya, untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.
            Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik berdasarkan Pasal 24 KUHAP, hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 29 KUHAP, perpanjangan penahanan oleh penyidik dapat dilakukan guna kepentingan pemeriksaan tersangka berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena: a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan tersebut diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari. Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat  penyidikan diberikan oleh ketua pengadilan negeri.
            Memperhatikan ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf “a” KUHAP, yang menetapkan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Jika ketentuan tersebut dikaitkan dengan ketentuan pidana yang diatur dalam UUPPLH, maka tindak pidana yang ada dalam UUPPLH yang bisa dilakukan penahanan yaitu tindak pidana sebagaimana diatur dalam: a. Pasal 98 ayat (1), (2), (3) UUPPLH, Pasal 99 ayat (2), (3) UUPPLH, c. Pasal 105 UUPPLH, d. Pasal 106 UUPPLH, Pasal 107 UUPPLH, dan Pasal 108 UUPPLH.
            Berdasarkan Pasal 29 ayat (5) KUHAP, tidak menutup kemungkinan penyidik (PPNS-LH) untuk mengeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi. Kemudian, berdasarkan Pasal 29 ayat (6) KUHAP, setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa oleh penyidik (PPNS), tersangka harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
PPNS-LH dalam melakukan penangkapan dan penahanan berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, dan dalam hal melakukan penyidikan, PPNS-LH memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan.
PPNS-LH memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, dan hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.
Berdasarkan Pasal 95 UUPPLH, dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri. Pelaksanaan penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Organisasi dan Tata kerja Kementerian Negara Lingkungan Hidup mempunyai Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum dan Administrasi Lingkungan, yang mempunyai tugas melaksanakan analisis, penyusunan pedoman, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan penegakan hukum pidana dan adiministrasi lingkungan, yang mempunyai fungsi:
a.       pelaksanaan analisis dan penyusunan pedoman di bidang penegakan hukum administrasi dan pidana lingkungan;
b.      penyiapan koordinasi dan pelaksanaan penanganan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan hukum administrasi dan pidana lingkungan;
c.       pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporam pelaksanaan kegiatan di bidang hukum administrasi dan pidana lingkungan;
d.      pelaksanaan pengembangan dan pembinaan teknis pejabat pengawas dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

2.         Pembuktian
            Pembuktian merupakan suatu proses yang dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang diajukan ke pengadilan adalah benar atau tidak seperti yang dinyatakan.
            Sistem pembuktian di dalam Hukum Acara Pidana menganut sistem negatif (negatief wettelijk bewijsleer) yang berarti yang dicari oleh hakim yaitu kebenaran materil. Berdasarkan sistem pembuktian ini, pembuktian didepan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak, yaitu: alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.
            Pengertian “alat bukti yang cukup” dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”,
dan Pasal 96 UUPPLH, maka alat bukti yang cukup tersebut sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 96 UUPPLH.
            Dipenuhinya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, belum cukup untuk menjatuhkan hukuman pada tersangka, perlu adanya keyakinan hakim untuk itu. Sebaliknya, jika hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, namun tidak tersedia alat bukti yang cukup, hakim juga tidak dapat menjatuhkan pidana, artinya hakim tidak dapat menjatuhkan pidana hanya didasarkan kepada keyakinannya saja tanpa dibarengi dua alat bukti yang sah.
            Suatu alat bukti bukti yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
a.         diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
b.         reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya.
c.         necessity, yakni alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
d.        relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Alat bukti yang diperkenankan undang-undang, berdasarkan Pasal 96 UUPPLH, terdiri atas:
a.         keterangan saksi;
b.         keterangan ahli;
c.         surat;
d.        petunjuk;
e.         keterangan terdakwa; dan/atau
f.          alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Alat bukti lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf “f” UUPPLH, yaitu meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.
Suatu alat bukti yang akan diajukan ke pengadilan merupakan alat bukti yang harus relevan dengan yang akan dibuktikan. Alat bukti yang tidak relevan akan membawa resiko dalam proses pencarian keadilan, diantaranya: akan menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu sehingga membuang-buang waktu, penilaian terhadap masalah yang diajukan menjadi tidak proporsional karena membesar-besarkan masalah yang kecil atau mengecilkan masalah yang sebenarnya besar, yang hal ini akan menyebabkan proses peradilan menjadi tidak sesuai lagi dengan asas peradilan yang dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak.
Menurut Munir Fuady[2], untuk melihat apakah suatu alat bukti yang diajukan relevan atau tidak dengan fakta yang akan dibuktikan, terlebih dahulu perlu menjawab beberapa pertanyaan, diantaranya:
a.    apakah yang akan dibuktikan oleh alat bukti tersebut?
b.    Apakah yang dibuktikan itu merupakan hal yang material/substansial bagi kasus tersebut?
c.    Apakah bukti tersebut memiliki hubungan secara logis dengan masalah yang akan dibuktikan?
d.   Apakah bukti tersebut cukup menolong menjelaskan persoalan atau cukup memiliki unsur pembuktian?
Setelah menjawab pertanyaan diatas, dan jawabannya positif, dilanjutnya dengan pertanyaan tahap kedua, yaitu apakah ada ketentuan lain yang merupakan alasan untuk menolak alat bukti yang diajukan tersebut. Alasan atau aturan yang harus dipertimbangkan tersebut, antara lain:
a.     Bagaimana dengan penerimaan alat bukti secara terbatas?
b.     Alat bukti tersebut ditolak manakala penerimanya dapat menyebabkan timbulnya praduga yang tidak fair atau dapat menyebabkan kebingunangan.
c.     Merupakan saksi de auditu yang harus ditolak.
d.     Ada alasan instrinsik yang dapat membenarkan alat bukti tersebut, misalnya adanya perbaikan yang dilakukan kemudian.
e.     Adanya pembatasan-pembatasan untuk menggunakan bukti karakter.
Selain pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan di atas, hal lain yang juga perlu diperhatikan (pengetahuan yang dimiliki) PPNS-LH atau penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan, yaitu ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh alat-alat bukti, sebagaimana diatur dalam Pasal 185 KUHAP sampai Pasal 189 KUHAP.
Ketentuan Pasal 185 KUHAP, berbunyi:
(1)   Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2)   Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4)   Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5)   Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli.
(6)   Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
(7)   Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Penjelasan Pasal 185 KUHAP:
Ayat (1)
 “dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”.
Ayat (2) sampai dengan ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dalam ayat ini ialah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan objektif.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Memperhatikan ketentuan Pasal 185 KUHAP, ditegaskan bahwa keterangan saksi untuk dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah harus dinyatakan (diberikan) di sidang pengadilan. Namun demikian, jika diperhatikan ketentuan Pasal 116 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:
“saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada bukti cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan”,
terlihat bahwa, keterangan saksi di tingkat penyidikan dapat diberikan di bawah sumpah. Akan tetapi, apakah keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah di depan penyidik tersebut mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah, KUHAP tidak ada menjelaskannya. Namun demikian, keterangan saksi yang diberikan di atas sumpah yang dituangkan dalam berita acara, dipandang sebagai alat bukti dan juga mempunyai kekuatan pembuktian untuk diajukan sebagai alat bukti dipersidangan pengadilan.
Berdasarkan Pasal 1 angka (27) KUHAP, keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana, yang berupa keterangan dari seorang (saksi) mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, yang ia lihat sendiri atau ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Hal ini berarti, saksi tidak boleh memberikan keterangan mengenai terjadinya suatu tindak pidana yang ia dengar dari orang lain, atau yang disebut sebagai suatu kesaksian de auditu atau suatu  testimonium de auditu. Kesaksian de auditu, tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu kesaksian.
Ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, menyatakan bahwa “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa”, ini terkandung asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Keterangan saksi baru dapat dipandang sebagai cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, jika keterangan saksi tersebut disertai dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang sah lainnya. Untuk tindak pidana lingkungan, alat bukti yang dimaksud sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 96 UUPPLH.
        Keterangan ahli, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (28) KUHAP, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya, Pasal 186 KUHAP, menyatakan: keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Kemudian, penjelasan Pasal 186 KUHAP menyatakan: keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.
Ketentuan Pasal 187 KUHAP,menyatakan bahwa ”surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf “c”, di buat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a.    berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu
b.    surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.    surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d.    surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”.
Penjelasan Pasal 187 KUHAP, menyatakan “cukup jelas”, sehingga memunculkan berbagai penafsiran dalam praktek terhadap pengertian “surat” sebagaimana dimaksud pada huruf “a”, “b”, “c” dan “d” dalam Pasal 187 KUHAP.
Menurut Lamintang[3], surat-surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf a dan b KUHAP, yaitu surat-surat yang biasanya disebut dengan akta-akta resmi atau officiele akten berupa akta-akta otentik atau authentikeke akten ataupun akta-akta jabatan atau ambtelijke akten. Surat atau berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf a KUHAP, misalnya: akta notaris atau berita acara pemeriksaan surat. Surat dalam Pasal 187 huruf b, misalnya: sertifikat tanah, berita acara pemeriksaan di tempat kejadian yang dibuat penyidik, putusan pengadilan.  Surat dalam Pasal 187 huruf c,merupakan surat keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan, dan menjadi alat bukti yann dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan, dan menjadi alat bukti yang sah apabila pendapatnya mengenai hal atau keadaan tersebut telah diminta secara resmi kepada ahli tersebut. Keterangan ahli dipandang sebagai suatu permintaan yang resmi, apabila permintaan tersebut diminta oleh pejabat-pejabat tertentu yang disebutkan dalam KUHAP dalam kualitas mereka sebagai penyidik, penuntut umum, hakim. Surat dalam Pasal 187 huruf d KUHAP, merupakan surat yang ada hubungannya dengan alat bukti yang lain.
Menurut Yahya Harahap[4], bentuk surat sebagaimana yang disebut dalam Pasal 187 huruf d KUHAP, dari tinjauan teoritis bukan merupakan alat bukti yang sempurna. Bentuk surat ini tidak mempunyai sifat bentuk formil yang sempurna. Karena itu baik isi dan bentuknya, bukan merupakan alat bukti yang bernilai sempurna dan dapat dikesampingkan begitu saja.
Ketentuan Pasal 188 KUHAP, mengatur tentang petunjuk sebagai alat bukti. Petunjuk berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Kemudian, petunjuk tersebut, berdasarkan Pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Memperhatikan ketentuan Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP, kemudian dikaitkan dengan Pasal 96 UUPPLH yang menyatakan: “alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; dan/atau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.”, maka petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 96 huruf “d” UUPPLH, juga hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (sebagaimana diatur dalam Pasal 96 huruf “a”, “c” dan “e” UUPPLH).  Dengan demikian, “tidak dapat” atau “dilarang” untuk mencari dan memperoleh petunjuk dalam tuntutan tindak pidana lingkungan dari keterangan ahli.
Kententuan alat bukti berupa keterangan terdakwa, diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yang menyebutkan:
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 189 KUHAP, keterangan terdakwa harus dinyatakan di sidang pengadilan, jika keterangan tersebut dinyatakan di luar sidang, maka keterangan terdakwa tersebut dapat dipergunakan untuk “membantu” menemukan bukti dipersidangan, dengan syarat keterangan terdakwa diluar sidang tersebut di dukung oleh suatu alat bukti yang sah dan keterangan yang dinatakannya di luar sidang tadi sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Bentuk keterangan yang dapat diklassifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, yaitu: keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan, dan keterangan tersebut dicatat dalam berita acara penyidikan, serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. Hal ini sejalan dengan Pasal 75 ayat (1) huruf “a” yang menyatakan : “berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang pemeriksaan tersangka” dan Pasal 75 ayat (3) KUHAP, yang menetapkan: berita acara tersebut selain ditandatangani pejabat yang melakukan pemeriksaan tersangka, juga ditandatangani oleh pihak terlibat dalam hal ini tersangka.
Penandatangan berita acara penyidikan oleh tersangka tidak merupakan syarat mutlak, karena berdasarkan Pasal 118 ayat (2) KUHAP, dinyatakan bahwa: dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya. Berita acara penyidikan tersebut tetap dianggap sah sesuai ketentuan Pasal 118 KUHAP dan Pasal 75 KUHAP.


[1][1] Pasal 1 ayat (14) KUHAP:
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
[2] Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian (pidana dan Perdata), Citra Aditya, Bandung, hal. 26 – 27.
[3] P.A.F. Lamintang, 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hal. 435 – 439.
[4] M. Yahya Harahap, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta, hal. 836.




Tulisan ini merupakan sebagian dari tulisan dalam buku:
KETENTUAN PIDANA  DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar