Kamis, 11 November 2010

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

 RUANG LINGKUP BERLAKUNYA  HUKUM PIDANA
(oleh: alvi syahrin)

A.       PENDAHULUAN
          Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan.
          Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempu-nyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.
          Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi pe-nentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya hukum pidana menurut tempat ini dapat dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas personaliteit, asas perlindungan atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.

B.       BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
          Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu diatur dalam Pasal 1 KUHP, yang berbunyi :
1.     Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.
2.     jika undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka pada tersangka dikenakan ketetuan yang menguntungkan baginya.

1. Pasal 1 ayat (1) KUHP
          Menyimak Pasal 1 ayat (1) KUHP, didalamnya tercantum asas legalitas, yang dalam bahasa latin disebut Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, yang artinya tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa pidana yang mendahuluinya.
Rumusan dalam bahasa Latin tersbut tidak berasal dari Hukum Romawi. Hukum Romawi tidak mengenal asas legalitas baik masa republik maupun sesudahnya. Rumusan itu pertam kali diperkenalkan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht, pada tahun 1801 yang menyusun 3 buah rumusan dalam bahasa latin:
·         nulla poena sine lege
·         nulla poena sine crimine
·         nulla crimen sine poena legali
yang ketiga rumusan tersebut olehnya disimpulkan dalam suatu rumusan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, dan disingkat dengan nullum crimen sine lege. (A. Zainal Farid Abidin, 1995 : 135) .
Asas legalitas, menurut Simons van Hamel, van Hatum, menjamin kepastian hukum individu dari tindakan kesewenang-wenangan hakim, sedangkan Vos mengemu-kakan bahwa asas legalitas ini bermanfaat karena di samping kekuatan pencegahan umum ancaman pidana, juga menjamin kepastian hukum. Selanjutnya Pompe juga mempertahankan asas legalitas ini namun ia menyetujui dapat digunakannya analogi terbatas pada peradilan pidana dengan alasan bahwa asas itu sudah mempunyai arti, makna dan tujuan yang lain daripada zaman liberal, yaitu asas itu merupakan magna charta untuk penduduk, malahan untuk penjahat. Tetapi asas itu bukanlah asas yang mutlak, sebab dalam mendesak demi keadilan dan kemanfaatan boleh disingkirkan. Keadilan dan kemanfaatan tidak boleh ditujukan kepada sebagian besar rakyat, sebagai dikemukakan oleh penganut-penganut ulititarisme juga tidak terhadap massa, yaitu suatu jumlah tertentu, yakni kaum proletar, seperti diperjuangkan oleh kaum komunis tetapi untuk masyarakat seluruhnya. (A. Zainal Farid Abidin,1995:37).
Namun demikian, Utrecht ada mengemukakan keberatan terhadap asas legalitas ini, yaitu sebagai berikut: … asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collective belangen). Akibat asas nullum delictun itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakekatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, maka ia tidak dihukum. Asas nullum delictum juga menjadi halangan bagi hakim pidana untuk menghukum seseorang yang melakukan biarpun tidak strafbaar masih juga strafwarding. Sekarang menjadi kenyataan terutama di bidang ekonomi dan perdagangan jumlah penjahat yang tidak dihukum makin lama makin banyak. Hal itu, oleh karena hukum belum meliputi lapangan ekonomi dan perdagangan. Bukankah pada waktu sekarang di Indonesia terdapat suatu masyarakat yang sedang bergolak cepat, namun pembuat undang-undang terbelakang dibandingkan dengan perkembangan masyarakat karena banyak orang jahat yang tidak dapat dituntut dan dihukum. Oleh sebab ini maka akan di tempatkan di bawah ancaman akan mendapat kerugian. Penghargaan kita terhadap asas nullum delictum itu ditentukan menurut pertimbangan antara dua hal yang menjadi latar belakang de strijd om het strafrecht:
a..kemerdekaan pribadi individu
b.kepentingan kolektiviteit (masyarakat). 
          Asas nullum delictum dilahirkan pada suatu zaman yang mengenal puncak perkembangan anggapan individualistis terhadap hukum dan hukuman, yaitu dila-hirkan pada Aufklarung. Asas nullum delictum itu memberi jaminan penuh bagi kemerdekaan individu, dan sudah tentu mereka yang masih tetap mempunyai pandangan indivi-dualistis terhadap hukum pidana dan hukuman dapat menerima asas nullum delictum itu sepenuh-penuhnya.
Terang sekali bagi siapa yang mengutamakan kepentingan kolektiviteit sangat sukar untuk memper-tahankan asas nullum delictum itu. Utrecht menganjurkan supaya asas nulllum delictum ditinggalkan mengenai delik-delik yang dilakukan terhadap kolektiviteit (masyarakat), Tetapi boleh dipertahankan mengenai delik-delik yang dilakukan terhadap seorang individu.
Selanjutnya alasan penghapusan Pasal 1 ayat (1) KUHP , disebabkan hukum pidana adat tidak mungkin dapat dijalankan/dilaksanakan, karena hukum pidana adat itu tidak tertulis. Pengakuan berlakunya hukum pidana yang tidak tertulis tidaklah berarti kemunduran. Apalagi suatu kodifikasi hanya berarti kepastian hukum  (rechtzekerheid) sepenuh-penuhnya bagi mereka yang membuat kodifikasi itu. Bukankah yang membuat kodifikasi menguntungkan ruling class dalam masyarakat?, bukankah ruling clas itu hanya terdiri dari beberapa anggota masyarakat yang bersangkutan? (E. Utrecht : 1956: 194- 199).         
          Selanjutnya berkaitan dengan asas legalitas ini Barda Nawawi Arief (1994 :22- 27 ; 1998: 122-124) ada mengemukakan bahwa :    
terlebih dengan adanya perumusan asas legalitas yang formal dalam Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis ataau hukum yang hidup di dalam masyarakat sama sekali tidak mendapat tempat sebagai sumber hukum yang positif. Dengan perkataan lain, dengan adanya Pasal 1 KUHP itu seolah-olah hukum pidana idak tertulis yang hidup atau yang pernah ada dalam masyarakat, sengaja ditidurkan atau dimatikan. Semasa zaman penjajahan, ditidurkannya hukum pidana tidak tertulis yang hidup dalam masyarkat atau yang pernah ada di masyarakat, karena memang sesuai dengan politik hukum Belanda saat itu. Namun akan dirasakan janggal apabila kebijakan itu juga diteruskan setelah kemerdekaaan. Dengan adanya Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis/hukum yang hidup itu tidak pernah tergali dan terungkap secara utuh ke permukaan, khususnya dalam praktek peradilan pidana maupun dalam kajian akademik di perguruan tinggi. Selanjutnya berarti, tidak pernah berkembang dengan baik tradisi yuris-prudensi maupun tradisi akademik/keilmuan mengenai hukum pidana tidak tertulis itu.
Asas legalitas seperti dirumuskan dalam Pasal 1 KUHP memang merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap dipertahankan.  Namun patut dicatat, bah-wa ide atau misi yang terkandung di dalam asas legalitas akan benar-benar terwujud apabila kondisi KUHP betul-betul sudah mapan, sepanjang KUHP yang sekarang ada dinyatakan belum mapan/mantap (karena warisan kolonial dan harus diganti dengan KUHP baru), maka sebenarnya ketentuan Pasal 1 KUHP harus digunakan secara bijaksana. Kalau tidak hati-hati dan kurang bijaksana, justru dapat menjadi bumerang. Sungguh sangat tragis dan menyayat hati, apabila dengan dalil Pasal 1 KUHP, nilai-nilai hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat tidak dapat tersalur dengan baik atau bahkan ditolak sama sekali. Dikatakan tragis dan menyayat hati, karena nilai-nilai hukum adat/ hukum yang hidup di dalam masyarakat telah dibunuh/ dimatikan oleh bangsanya sendiri lewat senjata/peluru/ pisau yang diperoleh bekas penjajah (yaitu lewat Pasal 1 KUHP/WvS). Tidak sedikit delik-delik adat yang menyele-saikannya lewat pengadilan dirasakan kurang memuaskan, karena menurut I Made Widnyana, pengadilan hampir tidak pernah (jarang) menjatuhkan sanksi adat yang dikenal oleh masyarakatadat yang bersangkutan. Lebih mengharukan lagi, apabila warga masyarakat melakukan suatu perbuatan yang terpuji menurut nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat tetapi justru dia sendiri yang dipidana karena perbuatannya itu dinilai sebagai perbuatan main hakim sendiri dan (berdasarkan asas legalitas Pasal 1 KUHP) dipandang sebagai delik menurut KUHP. 
          Menyimak dari pro dan kontra terhadap asas legalitas di atas, harus diakui ada dua fungsi asas legalitas (D. Schaffmeister, et all, 1995: 6) yaitu:
1. Instrumental, tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut ;
2. Melindungi, tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang.
Kemudian, D. Schaffmeiter menambahkan bahwa tujuh aspek yang dapat dibedakan dari asas legalitas, yaitu:
1.    Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidna undang-undang.
2.    Tidak ada penerapan undang-undang pidan berdasarkan analogi.
3.    Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
4.    Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex        certa).
5.    Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
6.    Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
7.    Penuntutan pidan hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Berdasarkan asas legalitas, wewenang pemerintah malakukan/menjatuhkan pemidanaan semata-mata ber-sumber pada undang-undang. Reaksi hukum pidana atas perbuatan tercela, hanya boleh dilakukan kalau ada peraturan pidana yang bisa diterapkan atas perbuatan itu. Kebiasaan tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan, kecuali kalau ada penunjukan secara implisit atau eksplist dari undang-undang.
Suatu ketentuan pidana dituangkan dalam undang-undang, baik dalam arti formal maupun materiil. Ketentuan pidana yang dituangkan dalam arti materiil itu dibuat oleh pembentuk undang-undang yang lebih rendah yang telah dikuasakan oleh undang-undang dalam arti formal. Pembentukan undang-undang yang lebih rendah tidak diperkenankan membuat peraturan acara pidana. Pasal 1 KUHP hanya menuju kepada undang-undang dalam arti formal. Pembentukan undang-undang yang lebih rendah juga tidak diperkenankan mencampuri ajaran-ajaran umum hukum pidana. Pasal 103 KUHP membatasinya. Peraturan pidana tidak boleh berlaku surut, kecuali kalau itu menguntungkan terdakwa. Asas legalitas memberikan feungsi perlindungan kepada undang-undang pidana. Fungsi ini bekerja ganda, yaitu sebagai fungsi melindungi dan fungsi instrumental. Keharusan efisiensi bagi pemerintah dalam menindak perbuatan pidana, kadang-kadang merugikan fungsi melindungi. Sebagai contoh, hal ini terdapat dalam peraturan di bidang sosial ekonomi yang kian kompleks. Fungsi melindungi, secara implisit berarti bahwa hakim dalam peraturan pidana tidak boleh meng-gunakan penafsiran berdasarkan analogi. Meskipun ber-bagai metode penafsiran tersedia, metode-metode itu tidak boleh melampaui tafsiran ekstensif tertentu. Penentuan batas antara interpretasi ekstensif dan analogi kadang-kadang menimbulkan beda pendapat. Dalam keadaan demikian, mahkamah tertinggi harus menyelesaikannya.
          Kembali ke Pasal 1 ayat (1) KUHP, Wirjono Prodjodikoro (1986: 39), menyatakan ada dua asas yang terkandung di dalamnya, yaitu:
kesatu, bahwa sanksi pidana (strafsanctie) hanya dapat ditentukan dengan undang-undang  
kedua, bahwa ketentuan sanksi pidana itu tidak boleh berlaku surut (geenterug-werkendekracht).
Terhadap penentuan syarat perundang-undangan iniada hubungan (berkaitan) dengan kenyataan bahwa sanksi pidana pada sifatnya lebih keras daripada sanksi perdata atau sanksi administrasi dan merupakan ultimum remidium atau senjata pamungkas (terakhir) untuk mene-gakkan tata hukum. Untuk larangan berlaku surut bagi hukum pidana adalah menegakkan kepastian hukum bagi para penduduk, yang selayaknya harus tahu, bahwa perbuatan yang ia lakukan merupakan tindak pidan atau tidak. Larangan berlaku surut ini juga untuk memenuhi rasa keadilan (Wirjono Prodjodikoro, 1986 :40).
Kemudian Moelyatno (1987:25) menyatakan bahwa di dalam asas legalitas terkandung tiga pengertian, yaitu :
1.    Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana terlebih dahulu sebelum dinya-takan dalam suatu rancangan undang-undang;
2.    Untuk menentukan adanya perbuatan pidan tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3.    Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Mengenai keharusan adanya aturan undang-undang atau aturan hukum tertulis tersebut, Moelyatno memberikan tanggapan yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat, apakah tidak dapat pidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan hukum yang tertulis, padahal diketahui bahwa hukum pidana adat masih berlaku, ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 5 ayat 3b Undang-Undang Darurat 1951 yang memberikan kewe-nangan pengadilan negeri menggunakan hukum pidana adat yang masih berlaku.
          Kemudian lagi, Moelyatno tidak mengakui (menolak) dipergunakannya analogi dalam hukum pidana, namun ia mengakui adanya tafsiran ekstensif. Menurut Moelyatno, batas antara tafsiran ekstensif dengan analogi dapat ditentukan sebagai berikut:
Dalam tafsiran ekstensif kita berpegang kepada aturan yang ada. Di situ ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang dibentuk. Adalah mungkin, jika dibanding dengan maknanya ketika aturan itu dibuat, bahwa yang pertama adalah lebih luas. Tetapi sungguhpun demikian makna yang lebih luas itu secara objektif bersandar atas pandangan masyarakat mengenai perkataan itu. dalam pengunaan analogi, pangkal pendirian kita ialah, bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan yang ada. Tetapi perbuatan itu menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang ada, yang mengenai perbuatan yang mirip dengan perbuatan itu. Karena termasuk inti suatu aturan yang ada, maka perbuatan tadi lalu dapat dikenai aturan yang ada dengan menggunakan analogi. Jadi sesungguhnya jika digunakan analogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan yang tertentu, bukanlah lagi aturan yang ada, tetapi rasio maksud, inti dari peraturan yang ada.     
…meskipun dapat dikatakan bahwa tafsiran ekstensif dan analogi itu pada hakikatnya adalah sama, hanya ada perbedaan graduil saja, tetapi dipandang dari sudut psikologis bagi orang yang menggunakannya, ada perbedaan yang besar diantara keduanya ini, yaitu:yang pertama penafsiran ekstensif masih berpegang pada dunia aturan, semua kata kata masih dituruti, hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu terjadinya undang-undang, tetapi pada waktu penggunaannya, karena itu masih dinamakan interpretasi dan seperti halnya dengan cara interpretasi yang lain, selalu diperlukan dalam menggunakan undang-undang. Yang kedua (analogi) sudah tidak berpegang pada aturan yang ada lagi, melainkan pada inti, ratio dari padanya. Karena hemat saya bertentangan dengan asas legalitas, sebab asas ini mengharuskan adanya suatu aturan sebagai dasar. (Moelyatno, 1987 : 28-29).
Contoh penafsiran ekstensif yaitu putusan HR Belanda tahun 1921. Perkara ini mengenai penggunaan aliran listrik yang dilakukan seorang dokter gigi, tidak melalui alat penyantol, dengan cara menghentikan meteran tersebut dengan menusukkan sebuah paku, tiap kali setelah dikontrol petugas pemeriksa. HR berpendapat energi listrik merupakan benda yang dapat diambil dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum sebagai yang diatur dalam Pasal 362 KUHP (310 WvS). Yang ditafsirkan dalam pengertian ini adalah pengertian benda.
Menyimak dari sejarah perkembangan asas legalitas hukum pidana dengan segala faktor yang mempenga-ruhinya, ada 4 macam sifat yang dikandung oleh asas legalitas (Bambang Purnomo, 1978: 68-69), yaitu :
1. Asas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum (rechtszekerheit en rechtsgelijkheid) terhadap penguasa. Adagium yang dipakai oleh aliran asas legalitas ini, menurut GW Paton dinamakan nulla poena sine lega. Perlindungan individu diujudkan adanya keharusan dibuat undang-undang lebih dahulu untuk terjadinya perbuatan pidana dan pemidanaan.
2.  Asas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang  dilakukan oleh anggota masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui lebih dahulu peraturan yang memuat tentang perbuatan pidana dan ancaman pidananya. Adagium yang dipakai oleh aliran asas legalits ini dicetuskan oleh Von Feuerbach yang dinamakan nullum delictum nulla poena  sine praevia lege atau menurut tulisan Van Bemmelen dinamakan nullum crimen nulla poena sine praevia lege poenale.
3.  Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dua unsur yang sama pentingnya yaitu bahwa yang diatur oleh hukum pidana hanya memuat ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang mau menghindari perbuatan itu, tetapi juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. Di dalam aliran ajaran legalitas ini terdapat falsafah keseimbangan pembatasan oleh hukum bagi rakyat dan penguasanya. Adagium dari aliran ini berpangkal dari Von Feuerbach yang disusun kembali menjadi 3 postulat oleh Van der Donk dengan nama rodom den regel-nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena legali
4. Asas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat lebih utama dari pada kepentingan individu, dengan pokok pikiran bahwa a crime is a socially dangerous act of commission or omission as prescribed in criminal law. Pada aliran ini asas legalitas diberikan ciri, bukan perlindungan individu akan tetapi pada masyarakat, bukan kejahatan yang ditetapkan undang-undang saja akan tetapi menurut ketentuan hukum, oleh karena itu tidak mungkin ada perbuatan jahat yang timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Adagium yang dipakai menurut GW Paton dinamakan nullum crimen sine poena.
Berdasarkan asas legalitas, maka perumusan kata-kata undang-undang harus cukup jelas dan mempunyai pengertian yang tetap untuk waktu yang cukup lama. Hakim tidak dapat menyimpang dari arti yang telah dikandung dalam undang-undang. Namun demikian, karena pembuatan undang-undang tidak dapat meramalkan per-kembangan yang akan terjadi, dan tidak jarang dengan sengaja menyerahkan suatu pengertian undang-undang itu kepada yurisprudensi atau ilmu pengetahuan. Dalam hal yang demikian, hakim diberikan tugas untuk membuat penafsiran yaitu menyesuaikan undang-undang (yang telah dibuat) dengan perubahan masyarakat, tanpa adanya anasir yang bersifat sewenang-wenang.          
          Berlakunya asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP sebenarnya tidaklah secara mutlak, dengan alasan bahwa KUHP bukan merupakan undang-undang dasar me-lainkan sekedar kodifikasi undang-undang hukum pidana, selain itu derajat undang-undang selalu dimungkinkan  dan dapat dirubah oleh pembentuk undang-undang (DPR bersama pemerintah) jika dipandang perlu. Lain halnya apa-bila asas legalitas itu sekaligus ada perumusannya di dalam undang-undang dasar yang tidak secara mudah untuk mengadakan perubahan (Bambang Poernomo, 1978:71-72).    Menurut Sudarto (1990 : 22-26) jika diperinci makna Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut berisi dua hal yaitu:
1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan undang-undang.
2.  Peraturan undang-undang ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
Konsekwensi dari suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan undnag-undang yang terbagi dua, yaitu:
Pertama, perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tin-dak pidana juga tidak dapat dipidana. Hukum yang tidak tertulis tidak berke-kuatan untuk diterapkan.
Kedua, larangan menggunakan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana sebagai dirumuskan dalam undang-undang. Analogi yaitu memperluas ber-lakunya suatu peraturan dengan meng-abstraksikannya menjadi aturan hukum yang menjadi dasar dari peraturan itu (ratio legis) dan kemudian menerapkan peraturan yang bersifat umum ini kepada perbuatan konkret yang tidak diatur dalam undang-undang.
Kemudian, konsekwensi dari peraturan pidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif) didasarkan kepada ratio (dasar pemikiran) yaitu :
a.    Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa (peradilan).
b.    Pidana sebagai paksaan psychisch (psychologische dwang) artinya penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat. Si calon pembuat akan dapat dipengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat suatu kejahatan dapat ditekan, jika ia mengetahui bahwa perbuatannya tersebut akan mengakibatkan pemidanaan baginya. Oleh karena itu diancam pidana sudah harus ada pada saat tindak pidana dilakukan, sehingga dapat tercegahlah adanya tindak pidana.
c.    Aturan berlaku surut suatu peraturan pidana dapat diterobos pembuat undang-undang dengan undang-undang, artinya dalam hal tingkatan peraturan itu sama (undang-undang dengan undang) maka peraturan yang ditetapkan kemudian mendesak peraturan yang terlebih dahulu. Di sini berlaku asas lex posterior derogat legi priori. (periksa Sudarto, 1990 : 24-25).       

2.       Pasal 1 ayat (2) KUHP        
          Larangan berlaku surutnya suatu undang-undang sebenarnya sudah ditentukan dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeging (AB) Staatsblad 1847 : 23 yang berbunyi : “De wet verbint alleen voor het toekamende en heeft geen terugwerkende kracht.” Yang artinya “undang undang hanya berlaku untuk waktu kemudian dan tidak berlaku surut.  
          Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan pengecualian ter-hadap berlaku surut (retro aktif) undang-undang pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut, namun demikian aturan undang-undang tersebut haruslah yang paling ringan/meng-untungkan bagi terdakwa.       
          Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mempunyai 2 ketentuan pokok, yaitu:
a. Sesudah perbuatan dilakukan ada perudahan dalam perundang-undangan.
b. Dipakai aturan yang paling menguntungkan/ meringankan.
Menurut Bambang Poernomo (1978 : 72-73), dua ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP itu menimbulkan pandangan dan masalah, sehingga perlu ditinjau kembali atas kemanfaatan dari hukum peralihan yang peru-musannya seperti itu akan ditiadakn sama sekali dengan pertimbangan sebagai berikut:
Tidak ada hukum yang berdiri sendiri tanpa peengaruh dari lapangan hukum yang lain sehingga hukum pidana akan tetap memperhatikan perkembangan lapangan hukum yang lain.
a.    Dasar perubahan undang-undang yang baru adalah karena bahan perasaan/keyakinan/ kesadaran hukum rakyat, yang melalui badan pembentuk undang-undang membentuk undang-undang baru, untuk perbuatan pidana yang terjadi kemudian, sehingga perubahan undang-undang yang karena sifatnya berlaku sementara tidak termasuk perubahan di sini.
b.    Perubahan undang-undang yang menyangkut berat atau ringannya ancaman pidana tidak akan mempunyai arti, karena di dalam prakteknya hakim tetap memegang asas kebebasan di dalam menjatuhkan pidana yang diancam.
c.    Didalam perkembangan pembentukan undang-undang baru karena kemajuan teknik perundang-undangan, jarang sekali melupakan pedoman pelaksanaan di dalam aturan penutup yang memuat cara dan saat berlakunya undang-undang yang bersangkutan.        
d.    Asas lex temporis delicti yang berlaku secara tertulis maupun tidak tertulis adalah asas yang menjamin kepastian hukum serta keadilan hukum.
Kemudian Bambang Poernomo (1978 :73) lebih lanjut menyatakan bahwa:
Hukum peralihan yang tercantun di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP hanyalah mempunyai arti historis bagi suatu negara yang untuk pertama kali mempunyai dan membentuk kodifikasi atau undang-undang hukum pidana, sebagai peralihan dari keadaan hukum yang teratur dan sewenang-wenang menuju kepada tertib hukum pidana. Bagi suatu negara yang akan atau telah menympurnakan kodifikasi atau undang-undang hukum pidananya, tidak secara mutlak harus mencantumkan lagi hukum peralihan seperti Pasal 1 ayat (2) KUHP itu, dengan konsekwensi bahwa secara prinsip berpegang pada Lex temporis delicti dengan pengertian suatu peraturan hukum yang memuat lembaga atau yang menimbulkan ancaman pidana bagi suatu perbuatan tidak dapat berlaku surut kecuali dengan tegas ditentukan sebagai demikian, maupun hal-hal yang menimbulkan perubahan terhadap isi normanya saja. Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum pidana mempunyai isi tentang norma dan sanksi pidana, sehingga sudah sewajarnya apabila isi yang terakhir dijaga oleh lex temporis delicti (perubahan Pasal 364, 374, 379, 407 (1) KUHP).
Kemudian Hazwinkel-Suriga (dikutip dari A. Zainal Abidin Farid, 1995 : 154) antara lain berpendapat bahwa lebih bermanfaatlah kalau Pasal 1 ayat (2) KUHP diha-puskan, yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku pada waktu deliklah yang dipergunakan oleh hakim. Hal mana adil, dan berarti semua pembuat delik diperlakukan sama.
Kerugian yang dapat ditimbulkan, oleh karena undang-undang baru tidak dapat dipergunakan, dapat diatasi dengan jalan :
a.    penuntut umum dapat mempergunakan asas oppurtunitas.
b.    Hakim dapat memberikan pengampunan.
c.    Pembuat undang-undang dapat saja memper-hatikan tiap-tiap perubahan undang-undang pidana yang lama dengan jalan membuat ketentuan pidana khusus.
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, tidak semua negara yang mengaturnya demikian. Di Inggris tidak ada ketentuan seperti itu, jika ada perubahan dalam perun-dang-undangan, yang ditetapkan adalah peraturan yang masih berkekuatan pada waktu tindak pidana dilakukan. Keuntungan sistem ini yaitu adanya kepastian hukum dan juga tidak ada persoalan tentang penerapan hukuman yang berbeda untuk tindak pidana yang dilakukan pada waktu bersamaan. Hanya apabila aturan yang lama tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan masyarakat, maka sebe-narnya penerapan peraturan yang lama adalah ber-tentangan dengan keadilan. Kemudian di Swedia, jika ada perubahan dalam perundang-undangan yang diterapkan senantiasa peraturan yang baru, dan peraturan yang lama ditinggalkan sama sekali. Rasionya adalah bahwa peraturan yang baru itu lebih baik (Periksa, Sudarto, 1990 : 26-27).         
          A. Zainal Abidin Farid memberikan tanggapan ter-hadap pendapat di atas, menurutnya belum tentu peraturn hukum baru lebih baik daripada peraturan lama, misalnya peraturan hukum masa Orde Lama jelas lebih jelek daripada peraturan hukum sebelumnya. Terhadap pendapat yang memilih ukuran keadilan, A. Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa hukum juga bertujuan untuk mencapai keman-faaatan. Adalah tidak bermanfaat (dan mungkin tidak adil) untuk misalnya memidana seseorang yang Manipol pada masa Orde Lama dalam suasana Orde baru, walaupun perbuatan itu sesuai dengan UU No. 11 / PNPS / 1963 yang tidak diubah redaksinya (A. Zainal Abidin Farid, 1995 : 155).     Selanjutnya A. Zainal Abidin Farid lebih condong untuk mempertahankan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, mengingat perubahan undang-undang begitu pesat di negara kita dan pidana adalah merupakan ultimum remidium.    
          Arti perubahan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, ada beberapa teori. Menurut A. Zainal Abidin Farid, ada tiga macam teori yaitu:
a.    Teori formil yang dianut oleh Simon. Perubahan undang-undang yang dimaksud, baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang menurut Pasal 1 (2) KUHP.
b.    Teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dalam disertasinya (1919), bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud diar-tikan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai peru-bahan undang-undang ex. Pasal 1 (2) KUHP.  Keputusan H.R. tanggal 3 Desamber 1906 (koopelarij arrest; kasus mucikari) menganut teori tersebut. Seorang mucikari dituduh melang-gar Pasal 250 (1) 2e Wetboek van Strafrecht, yaitu memudahkan perbuatan cabul terhadap seorang wanita di bawah umur (minderjarige), dengan seorang lelaki. Pada tahun 1906 ketika perkara itu diadili oleh Hof di Arnhem maka terjadi perubahan dalam B.W. mengenai batas umur orang belum cakap, yaitu di bawah umur 23 tahun menjadi di bawah 21 tahun. Walaupun perubahan terjadi di luar WvS, dan redaksi WvS tidak berubah, namun H.R. menguatkan keputusan Hof (Pengadilan Tinggi) Arnhem yang melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum.
c.    Teori materiil tidak terbatas. H.R dalam keputusan tanggal 5 Desmber 1921 (N.J. 1922 h. 239 yang disebut Huurcommissiewet arrest) berpendapat bahwa “perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan  perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan baik perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang melalui teori materiil terbatas maupun perubahan karena waktu”.  teori tentang waktu tersebut paling luas dan sesuai dengan hukum pidana dan peradilan modern. Khusus bagi Indonesia, teori tersebut diperlukan, karena beberapa PENPRES yang dibuat oleh Presidan pada masa Orde Lama yang kin dijadikan Undang-Undang oleh DPR Orde Baru, tanpa perubahan redaksinya dapat menimbulkan kesulitan dan bertentangan dengan aspirasi serta kesadaran hukum Orde Baru, bahkan bertentangan dengan UUD 1945 dan TAP-TAP MPR.       
Kasus Posisi (duduk perkara): pada tahun 1920 seorang penyewa rumah menaikkan sewa rumahnya, hal mana melanggar Huurcommisiewet tahun 1917. sebelum perkara tersebut diadili, maka pada tanggal 1 April 1921 suatu undang-undang memperbolehkan kenaik-an sewa rumah dengan 20%, oleh karena keadan perumahan bertambah sulit. Kemudian, terdakwa dalam tingkat kasasi dilepaskan dari segala tuntutan, oleh karena H.R. berpendapat bahwa dalam hal ini ada perubahan karena zaman, karena tingginya persentase kenaikan sewa rumah. Perubahan karena keadaan ini, namun tidak berarti perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang, tetapi dapat dianggap sebagai perubahan dalam arti Pasal 1 (2) KUHP.
Mengenai kapankah suatu peraturan itu meng-untungkan atau meringankan terdakwa, Sudarto (1990 : 29) menyatakan pengertian paling ringan atau menguntungkan itu harus diartikan seluas-luasnya, dan tidak hanya mengenai pidana saja, melainkan mengenai segala sesuatunya dari peraturan itu yang mempunyai pengaruh terhadap penilaian sesuatu tindak pidana. Penentuannya harus dilakukan in concreto dan tidak in abstracto.    
          Sudarto memberikan contoh (yang mengutip dari Jonkers), sebagai berikut :  
Misalnya terhadap suatu delik pidana diperberat, akan tetapi delik itu dijadikan delik aduan. Manakah yang menguntungkan terdakwa? Ini tergantung pada keadaan konkrit apakah ada pengaduan atau tidak. Kalau tidak ada aturna baru yang berlaku, hal mana berarti terdakwa tidak dituntut. Sebaliknya kalau ada pengaduan, maka peraturan lama yang diterapkan, karena pidananya lebih ringan. Bagaimanakah kalau ada aturan baru dan lama tidak ada perbedaan bagi terdakwa? Jika dipegang teguh dasar Lex temporis delicti maka yang lama dipakai, akan tetapi apabila diterima anggapan bahwa peraturan itu lebih sesuai dengan keadaaan, maka peraturan barulah yang dipakai. Hemat kami, hal ini dapat diserahkan kepada hakim. Kalau sebelum keputusan ini menjadi tetap (gewijsde) ada beberapa perubahan dalam perundang-undangan, maka di sinipun harus dibandingkan dari sekian peraturan itu, maka dipilih hal yang menguntungkan terdakwa. Pendapat senada di atas juga dianut oleh Utrecht yang mengemukakan : suatu undang-undang pidana yang baru menjadi aturan yang paling ringan, terserah pada praktek dan hanya dapat ditentukan untuk masing-masing perkara sendiri (in concreto). Hal ini tidak dapat ditentukan secara umum (in abstracto). (Utrecht, 1956 : 27).
Mengenai maksud perubahan undang-undang ini menurut putusan Mahkamah Agung RI (Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1993 : 1-4), dapat dilihat di bawah ini sebagai berikut :
1.    Putusan MA tanggal 23 - 5 – 1970 No.27K/ Kr/1969. Ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP berlaku juga dalam perkara yang sedang banding. Dicabutnya Undang-Undang Pengendalian Harga tahun 1948 dengan diganti peraturan Peme-rintah Pengganti Undang-Undang No. 9 tahun 1962, bukanlah merupakan perubahan undang-undang, karena prinsip bahwa harga-harga jasa dari barang harus diawasi tetap dipertahankan.
2.    Putusan MA tanggal 1 - 3 – 1969 No. 136 K/Kr/1966. 
Pengganti Undang-Undang Deviden dengan undang-undang No. 17/1964 No. 32 tidak merupakan perubahan perundang-undangan dalam arti Pasal 1 ayat (2) KUHP.
3.    Putusan MA tanggal 27 – 5 – 1972 No. 72 K/Kr/1970.
karena Undang-undang No. 17/1964 (tentang cheque kosong) telah dicabut dengan Undang-Undang No.12/1971 dan terhadap terdakwa-terdakwa diperlakukan Pasal 1 ayat (2) KUHP, terdakwa-terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
4.    Putusan MA tanggal 22 – 10 – 1963 No. 118 K/Kr/1963.      
Perubahan yang terjadi karena peraturan “Dekon” tidak merupakan perubahan dalam perundang-undangan dalam arti Pasal 1 ayat (2) KUHP.
5.    Putusan MA tanggal 13 – 2 – 1962 No. 93 K/Kr/1961.
Perubahan nilai Rp. 25,- termaksud dalam Pasal 364, 373, 379, dan 407 KUHP menjadi Rp. 250,- berdasarkan PPPU No. 16 tahun 1960 meru-pakan suatu perubahan dalam perundang-undangan dalam arti Pasal 1 ayat (2) KUHP.
6.    Putusan MA tanggal 7 – 4 – 1963 No. 37 K/ Kr/1963. 
Karena pada waktu perkara terdakwa diadili oleh Pengadilan Tinggi Ekonomi di Semarang, Undang-Undang Beras 1948 telah dicabut dengan Perpu No. 8 tahun 1962, perbuatan terdakwa yang dilakukannya dalam tahun 1960 –1961, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP tidak lagi merupakan kejahatan atau pelanggaran.
7.    Putusan MA tanggal 2 – 6 –1946 No. 13 K/ Kr/1946.  
Karena berdasarkan keputusan Menteri Perdagangan tanggal 14 Maret 1963 semua peraturan tentang kewajiban mengadakan catatan yang ditetapkan dalam atau berdasarkan Pasal 9 Prijsbeheersching verordening 1948 dicabut, maka perbuatan terdakwa yang dilakukan dalam tahun 1959, pada waktu perkara diadili oleh Pengadilan Tinggi Ekonomi Semarang pada bulan April 1963 berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP tidak lagi merupakan kejahatan atau pelanggaran.
8.    Putusan MA tanggal 19 – 11 – 1974 No. 54 K/ Kr/1973.       
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : “bahwa Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri telah salah menerapkan hukum dengan mem-pergunakan Undang-Undang No.24/PRP/1960, sedang undang-undang tersebut telah dicabut sejak tanggal 29 Maret 1971 dengan berlakunya Undang-Undang No. 3/1971 tentang Pembe-rantasan Tindak Pidana Korupsi., tidak dapat diterima karena dalam Pasal 36 Undnag-Undang No. 3/1971 ditentukan bahwa yang harus diperlakukan adalah undang-undang yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan ;sedang dalam hal ini tindak pidana dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 3/1971.
9.    Putusan MA tanggal 22 – 12 –1964 No. 22 K/ Sip/1964.               
Pada penggantian PP No. 20/1962 dengan PP No. 20/1963 tidak ada perubahan mengenai norma-normanya, sehingga dalam hal ini Pasal 1 ayat (2) KUHP diperlakukan.
10. Putusan MA tanggal 7 – 1 – 1964 No. 143 K/Kr/1963.
Walaupun keadaan bahaya sudah dicabut dan dengan demikian semua peraturan-peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya juga turut hapus, namun karena masih ada peraturan-peraturan lain yang memuat larangan mengenai perhimpunan-per-himpunan tertentu, “grond idee” dari Undang-Undang Keadaan Bahaya tidaklah berubah, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa dalam hal ini telah ada perubahan perundang-undangan.
11. Putusan MA tanggal 24 – 11 – 1964 No. 144 K/Kr/1963.
      Keberatan memori Kasasi : - bahwa dengan dicabutnya Peraturan Faktur mengenai barang-barang dalam perkara ini, yakni ban-ban oto, oleh surat keputusan Menteri Perdagangan tgl. 12 – 6 – 1953 No. 499/M/1963 haruslah diper-lakukan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Tidak dapat dibenarkan, karena Peraturan Faktur masih berlaku bagi 13 jenis barang, jadi perlunya faktur masih diakui sehingga tidak terdapat perubahan perundang-undangan menurut Pasal 1ayat (2) KUHP.
12. Putusan MA tanggal 19 – 9 – 1964 No. .. K/ Kr/1964.
Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi : bahwa dengan berlakunya Perpu No. 8 tahun 1962, Rijsordonantie 1948 tidak berlaku lagi, penuntut kasasi seharusnya dilepaskan dari tuduhan. Tidak dapat dibenarkan, karena dalam hal ini tidaklah terjadi perubahan perundang-undangan dalam arti Pasal 1 ayat (2) KUHP.
13. Putusan MA tanggal 1 – 9 – 1964 No. 114 K/ Kr/1963.         
Dengan keluarnya PP No. 20/1963 norma-norma yang terkandung dalam prijsbeheerschings-ordonantie 1948 tidaklah berubah sehingga tidaklah terjadi perubahan perundang-undangan dalam arti Pasal 1 ayat (2) KUHP.                

C.        NASKAH RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
Berlakunya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan menurut waktu berdasarkan Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 1 dan 2.
Naskah rancangan kitab undang-undang pidana dalam tulisan ini adalah naskah yang ada pada Direktorat JenderalHukum dan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan 1999 – 2000.
Pasal 1:
(1)  Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2)  Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan penafsiran undang-undang secara analogi.
(3)  Ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(4)  Terhadap pembuat yang memenuhi ketentuan ayat (3) berlaku ketentuan pidana dalam Pasal 93.    
Penjelasan :
Pasal 1
 Ayat (1)  Pasal ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-undang. Yang dimaksud dengan ”perbuatan” disini adalah baik perbuatan yang dilakukan (aktif) maupun perbuatan yang tidak dilakukan (pasif). Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana karus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan tindak pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana
Ayat (2)   Larangan pengggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan     suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana  yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.
Ayat (3)   Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut  dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.

Ayat (4)   Cukup jelas
 
Pasal 2:
(5)    Jika terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, maka diterapkan peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan.
(6)    Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang tert\jadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.
(7)    Jika setelah putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.
Penjelasan:
Pasal 2
Ayat (1)   Asas ketentuan pidana tidak berlaku surut (nonretro aktif) adalah mutlak. Namun apabila terdapat perubahan peraturan perundang-undangan pidana setelah seseorang melakukan suatu tindak pidana, maka  digunakan keten-tuan yang lebih menguntungkan bagi terdakwa.
Ayat (2)   Yang dimaksud dengan “pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan” adalah bahwa narapidana yang bersangkutan dibebaskan dari menjalani pidana yang telah dijatuhkan kepadanya. Dengan demikian, apabila narapidana sedang menjalani pidana, maka pelaksanaan sisa pidana ditiadakan, dan apabila pidana belum dijalani, maka pelaksanaannya gugur. Mengenai putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka instansi atau pejabat yang berwenang menetapkan pembebasan adalah pejabat eksekutif.
              Ketentuan mengenai pembebasan ter-sebut berlaku juga bagi tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan. Pembebasan tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Ayat (3)   Mengingat putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, ma-ka instansi atau pejabat yang berwenang menetapkan penyesuaian pidana adalah pejabat eksekutif.
              Pemberian keringanan pidana tidak me-nimbulkan hak bagi terpidana menuntut ganti kerugian.

D.       BERLAKUNYA HUKUM PIDANA  MENURUT TEMPAT
          Ruang lingkup berlakunya peraturan-peraturan pidana menurut tempat dalam KUHP diatur pada Pasal 2 – 9 KUHP. Berdasarkan ketentuan tersebut ada 4 asas, yaitu asas teritorial, asas personal (nasional aktif), asas per-lindungan (nasional pasif) dan asas universal.
1.       Asas Teritorial
          Menurut asas teritorial atau teritorialiteits beginsel, atau disebut juga lands beginsel, berlakunya undang-undang pidana suatu negara semata-mata didasarkan pada tempat dimana suatu tindak pidana itu  dilakukan, dan tempat tersebut haruslah berada pada wilayah negara yang bersangkutan.         
          Negara berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban di wilayahnya, ia (negara) memiliki kedaulatan atas seluruh wilayahnya, sehingga setiap orang baik secara tetap maupun untuk sementara berada di wilayah negara yang bersangkutan harus mentaati dan menundukkan diri pada segalka perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut.
         
Pasal 2 KUHP, berbunyi :
”Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang di dalam wilayah Indonesia yang melakukan tindak pidana.”         
Pengertian tiap orang dalam Pasal 2 KUHP di atas, yaitu siapa saja apakah ia warga negara Indonesia atau warga negara asing dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, kedudukan atau pangkat. Namun demikian terhadap orang asing yang menurut Hukum Internasional diberi hak eksteritorialited, tidak boleh diganggu gugat artinya terhadap mereka KUHP tidak berlaku, dan mereka itu tunduk kepada undang-undang pidana negeri mereka. Mereka itu antara lain:
-  Para kepala negara asing yang berkunjung ke Indonesia dengan setuju pemerintah  Indaonesia.
-  Para korps diplomatik negara-negara asing, misalnya: Ambasador, Duta Istimewa.
- Para Konsul, seperti Konsul Jendral, Konsul, Wakil Konsul dan Agen Konsul apabila memang ada perjanjian antara pemarintah Indonesia dengan negara asing tersebut yang saling mengakui ada-nya hak tidak boleh diganggu-gugat (imunniteit diplomatik) untuk para konsul negara masing- masing.
- Pasukan-pasukan negara asing dan para awak kapal perang asing yang ada di bawah pimpinan langsung dari komandonya, yang datang di indonesia atau melintai wilayah indonesia dengan setahu pemarintah Indonesia.
- Para wakil dari Badan-Badan Internasional, seperti utusan PBB, Palang Merah Internasional, dll.
Walaupun mereka yang tersebut di atas memiliki hak territorialiteit, bukan berarti mereka seenaknya untuk bertindak sesuka hatinya (melanggar ketentuan undang-undang). Memang mereka itu tidak dapat dituntut pidana di Indonesia, akan tetapi terhadap mereka senantiasa dapat diajukan pengaduan kepada pemerintahnya, wakil diplomatik itu sendiri. Pengaduan tersebut disertai tuntutan untuk memanggil kembali wakil diplomatik yang bersang-kutan dan untuk menuntut pidana di negaranya sendiri. Artinya terhadap mereka yang melanggar ketentuan undang-undang pidana Indonesia dapat dilakukan tindakan, hanya saja harus melalui jalur dipomatik. dalam hubungan dengan asas teoterialitas, mengenai wilayah Indonesia (A.Zainal Abidin Farid, 1995 : 162 – 163) dapat diketahui dari ketentuan:
Pasal 2 UUDS 1950 yang pernah berlaku dahulu hanya menyabut, bahwa Republik Indonesia meliputi seluruh daerah Indonesia. Menurut Supomo (UUDS RI 1957 : 22), bahwa dalam penjelasan atas rencana UUDS ini disebut, bahwa yang dimaksud daerah Indonesia itu, ialah daerah Hindia Belanda dulu. Konstituante RI  merumuskannya dalam keputusan No.47/K/1957: Wilayah negara indonesia sesuai yang dimaksud pada waktu proklamasi kemerdekaan Inonesia tanggal17 Agustus 1945 meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda menurut keadaan pada saat pechnya perang pasifik tanggal 7 Desember 1941.
Asas teritorialitas, diperluaskan Pasal 3 KUHP yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang diluar Indonesia, melakukan perbuatan pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.”  
          Pengertian kendaraan air dan pesawat udara Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 95 dan 95a KUHP.
Pasal 95 KUHP:
“Yang dikatakan kapal negara Indonesia, yaitu kapal atau perahu yang menurut undang-undang umum tentang pemberian surat laut dan pas kapal di negara Indonesia harus mempunyai pas laut atau pas kapal atau surat ijin buat semantara waktu pengganti surat atau pas kapal itu.
Pasal 95a KUHP :
(1) Yang dimaksud dengan pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia.
(2) Termasuk pula pesawat Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa tanpa awak pesawat yang dioperasikan oleh  perusahaan penerbangan Indonesia pesawat.
Menurut Jonker (A.Zainal Abidin Farid, 1995 : 164) perluasan asas tersebut tidak boleh diartikan melipti seluruh kapal laut atau perahu. Hanya kapal perang dan kapal dagang di laut bebas merupakan teritoir Indonesia.    

2.       Asas Personal (Nasional Aktif).      
          Asas personal  (nasional aktif) disebut juga actief nationaliteitsbeginsel atau personaliteit beginsel menen-tukan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia, yang melakukan tindak pidana baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Menurut asas ini seolah-olah perundang-undangan pidana mengikuti orangnya. Rasio asas personalitas adalah untuk melindungi negara Indonesia. Beberapa tindak pidana yang dilakukan di luar negeri begitu besar bahayanya bagi negara, dan kemungkinan perbuatan itu tidak diancam dengan pidana di luar negeri, maka dianggap perlu untuk memidana warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu itu sekalipun ia (pelaku) berada di luar negeri.     
          Asas personal ini diatur dalam Pasal 5 KUHP, yang berbunyi :
(1) Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia:
1e. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan dalam Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451.
2e. Suatu perbuatan yang dipandang sebagai suatu kejahatan menurut ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang negeri, tempat perbuatan itu dilakukan.
(2). Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksud pada ke 2e boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 KUHP tersebut di atas, warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu (di luar wilayah Indonesia) terhadapnya berlaku ketentuan peraturan undang-undang pidana Indonesia. Tindak pidana tertentu tersebut dapat dibagi dalam 2 golongan (Utrecht, 1956 :242 – 243, Sudarto, 1990 :33) yaitu:
Golongan pertama:
- kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104 – 129 KUHP).
- kejahatan melanggar martabat Presiden (Pasal 131 – 139 KUHP)
- penghasutan (Pasal 160 KUHP)
- penyebaran tulisan/surat-surat yang mengandung penghasutan (Pasal 161 KUHP)
- membuat tidak cakap untuk dinas militer (Pasal 240 KUHP)
-  bigami (Pasal 279 KUHP)
-  melakukan perampokan atau pembajakan laut (Pasal 450 dan 451 KUHP).
Golongan kedua:
Tindak pidana yang menurut undang-ungdang Indonesia yang dianggap sebagai kejahatan yang dinegeri tempat tindak pidana dilakukan itu diancam dengan pidana. Untuk golongan kedua ini harus sipenuhi dua syarat, yaitu :
a.  kejahatan menurut KUHP :
b. juga dihukum oleh hukum pidana negara asing dimana tindak pidana itu dilakukan.
Menurut Bambang Poernomo (1978 : 57-58) asas personalitas dalam Pasal 5 KUHP dapat dibagi atas 3 golongan masalah, yaitu:
a.     Pada ayat 1 ke 1 menentukan beberapa perbuat-an pidana yang membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat diharapkan dikenai pidana ataupun sunggu-sungguh untuk dituntut oleh undang-undang hukum pidana negara asing, oleh karena pembuat deliknya adalah warga negara Indonesia dan karena kurangnya perhatian terhadap kepentingan khusus warga negara Indonesia, maka setiap warga negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia melakukan perbuatan pidana tertentu berlaku KUHP.
b.     Ayat 1 ke 2 memperluas ketentuan golongan pertama, dengan syarat-syarat bahwa perbuatan yang terjadi harus merupakan kejahatan menurut ketentuan KUHP dan harus juga merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang pidana negara asing dimana perbuatan terjadi. Dua syarat itu harus dipenuhi, sebab apabila menurut hukum pidana negara asing tidak diancam dengan pidana, KUHP tidak berlaku sekalipun sebagai kejahatan (diluar golongan pertama). Jadi semua kejahatan dalam KUHP praktisnya mengikuti warga negara Indonesia di luar  negeri, dengan pengecualian terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut hukum pidana negara asing tidak dapat dipidana sama sekali. Dapat pula dikatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) ke 1 mempunyai tujuan khusus sedangkan Pasal 5 ayat (1) ke 2 mempunyai tujuan umum yang bersyarat, sehingga kedua-duanya tidak dapat meniadakan yang lain. Teoritis akan timbuk persoalan apabila warga negara Indonesia melakukan kejahatan di daerah tidak bertuan (laut bebas di dalam kapal asing atau kapal terbang. Jawabannya akan terpecahkan seperti halnya mengenai Pasal 3 KUHP.
c.     Pada ayat 2 untuk menghadapi kejahatan yang dilakukan dengan perhitungan yang masak dan agar tidak lolos dari tuntutan hukum, yaitu apabila orang asing di luar negeri melakukan naturalisasi menjadi warga negara Indonesia, maka penuntutan atas kejahatan Pasal 5 ayat (1) ke 2 masih dapat dilaksanakan.
Asas personaliteit sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) angka 2e dibatasi oleh Pasal 6 KUHP yang berbunyi: “Berlakunya Pasal 5 ayat 1 angka 2e itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan hukuman mati untuk perbuatan yang tidak diancam dengan hukuman mati menurut undang-undang negeri termpat perbuatan itu dilakukan.”
Menyimak ketentuan Pasal 6 KUHP, bahwa hukuman mati hanya dapat dijatuhkan jika perbuatan itu baik di Indonesia maupun di luar negeri (di negara perbuatan itu dilakukan) diancam dengan hukuman mati. Pembatasan ini tidak meliputi pada kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) angka 1e.

3.       Asas Perlindungan (Nasional Pasif)           
          Asas perlindungan atau asas nasional pasif melindungi kepentingan nasional (masyarakat Indonesia) terhadap serangan siapapun juga (pembuat delik warga negara sendiri atau pembuat delik bukan warga negara Indonesia), di mana-mana saja (di dalam maupun di luar negeri) serangan itu dilakukan. Yang menjadi pangkal asas ini adalah semata-mata kepentingan hukum nasional yang terancam. Tidak dihiraukan kewarganegaraan, pembuat atau tempat dimana perbuatan itu dilakukan (E. Utrecht, 1996 : 245). Dengan kata lain bahwa asas perlindungan (nasional pasif) memuat prinsip bahwa peraturan hukum podana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik itu dilakukan oleh warga negara Indonesia atau bukan yang dilakukan di luar Indonesia (Sudarto, 1990 : 34).   
          Asas perlindungan ini diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 8 KUHP, yang berbunyi :
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
1e. salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 104, 106, 107, 108, 108, 110, 110, 111, bis pada 1e, 127 dan 131
2e. suatu kejahtan tentang mata uang, uang kertas negeri atau uang kertas bank atau tentang materai atau merak yang dikeluarkan atau disuruhkan oleh Pemerintah Indonesia ;
3e. pemalsuan tentang surat-surat hutang atau sertipikat-sertipikat hutang yang ditanggung Indonesia, daerah (gewest) atau sebahagian daerah, talon-talon, surat-surat hutang sero atau surat-surat bunga hutang yang masuk surat-surat itu, serta surat-surat keterangan ganti surat itu, aatau dengan sengaja memper-gunakan surat palsu atau yang dipalsukan demikian itu seakan-akan surat itu benar dan tidak dipalsukan ;
4e. salah satu kejahatan yang tersebut dalan Pasal-Pasal 438, 444 – 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan penyerahan kenderaan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 447 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n dan 0 tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

Pasal 7                  
Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi pegawai Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua.           
Pasal 8                  
Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang-penumpang alat pelayar (kapal, perahu) Indonesia, yang ada di luar Indonesia, juga mereka tidak ada di atas alat-alat pelayar, melakukan salah satu peristiwa pidana, yang diterangkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga, demikian juga dalam undang-undang umum tentang surat-surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam Ordonantie Kapal 1927.
Menyimak ketentuan Pasal 4, 7 dan 8 KUHP di atas, maka kejahatan-kejahatan tersebut dapat dibagi dalam 5 kategori (golongan), yaitu :
1. Kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat presiden (Pasal 4 sub 1):
2. Kejahatan-kejahatan tentang materai atau merk yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia (Pasal 4 sub 2)
3. Pemalsuan surat-surat hutang dan sertifikat-sertifikat hutang atas beban Indonesia, daerah atau sebagian daerah ; talon-talon deviden atau surat-surat bunga yang termasuk surat-surat itu, dan juga surat-surat yang dikeluarkan untuk mengganti sura-suarat itu ; atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan tersebut seolah-olah tulen dan tidak dipalsukan (Pasal 4 sub 3)
4. Kejahatan jabatan yang tercntum dalam titel XXVIII Buku Kedua yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Indonesia di luar Indonesia (Pasal 7). Pegawai Negeri Indonesia itu tidak perlu orang Indonesia. Misalnya si perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri banyak orang-orang asing yang menjdai pegawai Indonesia. Disamping itu juga banyak pegawai-pegawai Indonesia yang karena tugasnya berada di luar negeri.
5. Kejahatan pelayaran yang tercantum dalam titel XXIX buku II; pelanggaran pelyaran dan juga tindak pidana yang tercantum dalam peraturan-peraaturan umum tentang surat-surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam Ordonansi Kapal 1927, yang dilakukan oleh nakhoda dan penumpang alat pelayar (kapal atau perahu) Indonesia yang ada di luar Indonesia ; baik mereka itu berada di atas kapal maupun di luar kapal (Pasal 8). (Sudarto, 1990:34-35).     

4.       Asas Universalitas              
          Menurut asas universalitas peraturan-peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana baik itu dilakukan di dalam negeri ataupun di luar negeri, dan juga baik dilakukan oleh warga negara sendiri atau oleh warga negara asing. Tindak pidana dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sub 2e KUHP yakni sejauh juga mengenai kepentingan-kepentingan negara-negara asing dan Pasal 4 sub 4e KUHP mengenai perompak di laut (pembajakan).
Kepentingan yang dilindungi dalam asas univer-salitas ini yaitu kepentingan internasional.      
          Asas Universalitas ini dibatasi oleh Pasal 9 KUHP. Berdasarkan Pasal 9 KUHP ditentukan bahwa berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia yang dimaksud dalam Pasal-Pasal 2, 3, 4, 5, 7 dan 8 dibatasi dengan kekecualian yang diakui dalam hukum publik internasional, antara lain :
a. bahwa rumah dan pekarangan dari para duta negara besar dan duta dari negara asing dianggap wilayah dari negara asing yang bersangkutan;
b. bahwa para diplomat asing tidak dapat dituntut di muka pengadilan di negara mereka ditugaskan;
c. bahwa kapal-kapal perang dari negara asing yang berlabuh di pelabuhan Indonesia dianggap pula sebagai wilayah negara asing yang bersangkutan.
Pengecualian di atas dapat dikatakan bahwa diperlakukan prinsip ex territorialitas yang berarti bahwa orang-orang dianggap ada di luar suatu wilayah tempat mereka berada (Wirjono Prodjodikoro, 1986 : 54).

E.       Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat Berdasarkan naskah Rancangan KUHP Baru.
Berlakunya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan menurut tempat berdasarkan Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 12. Naskah Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dalam tulisan ini adalah naskah pada Direktorat Perundang-undangan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan 1999 – 2000.
Pasal 3
Ketentuan Pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia.    
Penjelasan :  
Ketentuan dalam Pasal ini mengandung asas wilayah. Asas ini berarti bahwa berlakunya keten-tuan pidana ditentukan oleh tempat suatu tindak pidana dilakukan. Yjadi yang diutamakan dalam asas wilayah ini ialah wilayah tempat tindak pidana dilakukan, tanpa melihat kepada kewarganegaraan pelaku tindak pidana itu. Jadi  siapa saja yang mela-kukan tindak pidana dalam wilayah Indonesia dapat diterapkan ketentuan Pidana Indonesia.

Pasal 4         
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia.
Penjelasan:Ketentuan dalam Pasal ini memperluas berlakunya asas wilayah dalam Pasal 3 dengan menganggap kapal atau pesawat udara Indonesia sebagai wilayah Indonesia.
Pesawat Indonesia yang dimaksudkan dalam ketentuan ini tidak hanya pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia, tetapi juga pesawat udara asing yang disewa oleh orang, lembaga, atau pemerintah Indonesia untuk waktu lama tanpa awak pesawat (dryleased) dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.
Apabila terjadi tindak pidana dalam pesawat tersebut, maka sebagian besar dari saksi awak pesawat adalah warga negara Indonesia, oleh karena itu hal ini memudahkan pelaksanaan peradilan bila terhadap tindak pidana tersebut dikenakan hukum pidana Indonesia.
Yang dimaksud dengan”pesawat ruang angkasa” adalah laboratorium ruang angkasa dan sejenisnya.

Pasal 5
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 193 sampai dengan Pasal 203 dan Pasal 205 ayat (1) butir a, dan Pasal 220;
b. Pasal 224 sampai dengan Pasal 227, dan Pasal 228 sampai dengan Pasal 237;
c. Pasal 384, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 391, Pasal 392,Pasal 393, Pasal 395 butir b, dan Pasal 398;
d. Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 376 sampai dengan Pasal 379, Pasal 490, Pasal 542, Pasal 561, Pasal 592, Pasal 594, Pasal 632, Pasal 634, Pasal 635, Pasal 636, Pasal 638, Pasal 644, Pasal 645, dan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Penjelasan :
Pasal ini mengandung asas nasional pasif (huruf a, b, c) dan asas universalitas (huruf d). Asas nasional pasif atau perlindungan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum negara. Pembuat tindak pidana yang dikenakan ketentua Pasal ini adalah setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Penerapan asas nasional pasip dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia hanya terbatas kepada perbuatan tertentu yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum nasional yang sangat penting untuk dilindungi. Hal ini terlihat dalam penunjukan Pasal-Pasal yang dilanggar yang terhadap pembuatnya dapat diterapkan hukum pidana Indonesia.
Alasan dipakainya asas nasional pasif karena pada umumnya tindak pidana yang merugikan suatu negara, oleh negara tempat tindak pidana dilakukan  (lokus delikti) tidak selalu dianggap sebagai suatu perbuatan yang harus dilarang dan diancam pidana. Oleh karena itu dapat terjadi seseorang yang mela-kukan suatu perbuatan yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum nasional Indonesia akan terhindar dari penuntutan, apabila perbuatan tersebut dilakukan di luar wilayah Indonesia. Ber-dasarkan pertimbangan ini, maka melindungi  ke-pentingan nasional Indonesia dirumuskan Pasal 5 ini.
Asas universalitas adalah asas yang melindungi kepentingan hukum negara Indonesia maupun kepentingan hukum negara lain. Pelanggaran atas kepentingan hukum universal disebut tindak pidana internasional. Landasan pengaturan asas ini terdapat dalam Konvensi internasional di mana sesuatu negara menjadi peserta.
Indonesia telah menjadi peserta dari beberapa kon-vensi internasional, antara lain: konvensi inter-nasional tentang uang palsu, konvensi internasional tentang laut bebas yang didalamnya diatur tindak pidana pembajakan laut, Konvensi internasional ten-tang kejahatan Penerbangan  dan Kejahatan Terha-dap sarana/prasarana penerbangan, dan konvensi internasional tentang Lalu Lintas dan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Apabila di kemu-dian hari Indonesia ikut serta dalam konvensi inter-nasional yang mengatur tentang tindak pidana in-ternasional lainnya, maka penunjukan kepada Pasal-Pasal tindak pidana internasional akan bertambah.

Pasal 6         
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang penuntutannya diambil alih oleh Indonesia dari negara asing berdasar suatu perjanjian yang memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana.
Penjelasan :
Sesuai dengan perkembangan dunia modern, beberapa negara telah mengadakan perjanjian yang memungkinkan warga negara yang ikut serta dalam perjanjian tersebut dapat diadili oleh masing-masing negara anggota karena melakukan tindak pidana tertentu. Dengan demikian, ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan adanya perjanjian antara Indonesia dan negara lain yang memungkinkan warga negara dari negara lain tersebut penuntutannya diambil alih dan diadili oleh Indonesia karena melakukan tindak pidana tertentu yang diperjanjikan.

Pasal 7
(1)  ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi negara Indonesia yang diluar wilayah Republik Indonesia melakukan :
a. salah satu tindak pidana yang disebut dalam Pasal 193 sampai dengan Pasal 223, Pasal 224 sampai dengan Pasal 227, Pasal 251, Pasal 252; Pasal 369, Pasal 380, Pasal 381; dan Pasal 497.
b. suatu perbuatan yang menurut hukum pidana Indonesia, yang sekurang-kurangnya di-ancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III dan dapat pula dipidana menurut hukum dari negara tempat pidana tersebut dilakukan.
(2) Penuntutan terhadap perbuatan yang dimaksud dalam ayat 1 butir b dapat juga dilakukan walaupun tersangka menjadi warga negara Indonesia setelah tindak pidana tersebut dilakukan.
 Penjelasan :
Ayat (1) Ketentuan dalam pasal ini mengandung asas nasionalitas aktif. Berdasarkan asas ini terhadap warganegara Indonesia diberlakukan hukum pidana Indonesia, walau-pun melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian, hukum pidana Indone-sia mengikuti warga negara Indonesia di manapun berada.
              Mengingat bahwa tempat dilakukannya tindak pidana (lokus delikti) berada di luar wilayah Indonesia, maka tindak pidana yang dikuasai oleh asas nasional aktif bersifat umum, dengan pengertian walaupun dinegara tempat tindak pidana dilakukan tidak diancam dengan pidana, tetapi karena merugikan kepentingan nasional, maka pembuat dapat dipidana berdasarkan ketentuan ini.
              Ketentuan dalam ayat (1) huruf a ditentukan secara tegas jenis-jeis tindak pidana yang dimaksudkan, mengingat tindak pidana tersebut tidak selalu diancam dengan pidana oleh negara lain.
              Di samping itu, asas nasionalaktif berlaku pula terhadap tindak pidana lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dengan ketentuan bahwa perbuatan tersebut di Indonesia merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak kategori III dan di negara tempat tindak pidana dilakukan (lokus delikti) juga merupakan tindak pidana.
              Asas yang dikandung dalam ayat (1) huruf b inidisebut asas tindak pidana rangkap (double criminality).
Ayat (2)  Cukup jelas

Pasal 8
Warga negara Indonesia yang di luar wilayah negara Republik Indonesia melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) butir b tidak dapat dijatuhi pidana mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.
Penjelasan:
Ketentuan dalam pasal ini memuat pembatasan Pasal 7 ayat (1) huruf a, bahwa terhadap pembuat yang kemudian diadili di Indonesia, tidak dapat dijatuhi pidana mati apabila terhadap tindak pidana tersebut oleh negara tempat tindak pidana dilakukan (lokus delikti) tidak diancam dengan pidana mati.

Pasal 9         
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi pegawai negari Republik Indonesia yang di luar wilayah Republik Indonesia melakukan salah satu tindak pidana jabatan yang tercantum dalam Bab XXIX Buku Kedua atau dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan
Berdasarkan ketentuan Pasal ini berlakunya hukum pidana Indonesia juga diperluas terhadap pegawai negeri Indonesia, termasuk staf lokal (local staff) warga negara asing pada Kantor Perwakilan Republik Indonesia, yang melakukan tindak pidana jabatan.
Inti ketentuan dalam pasal ini sama dengan asas nasional pasif atau asas perlindungan hukum, yaitu untuk melindungi kewibawaan pemerintah serta alat kelengkapannya supaya tidak dilanggar, termasuk oleh orang asing yang telah diberi kepercayaan memegang jabatan atau melakukan tugas pemerintahan.         

Pasal 10
(1) Ketentuan pidana  dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda, awak kapal, atau penumpang kapal Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan salah satu tindak pidana pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Bab XXX Buku Kedua.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga walaupun nakhoda, awak kapal, atau penumpangkapal tersebut tidakberada di atas kapal Indonesia.
Penjelasan
Perluasan berlakunya hukum pidana Indonesia diterapkan terhadap nakhoda, awak kapal atau penumpang kapalIndonesia  yang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia, baik ketika mereka berada di dalam maupun di luar kapal Indonesia melakukan tindak pidana. Ketentuan dalam pasal ini merupakan perluasan berlakunya Pasal 4, dan berlaku tanpa pembatasan asas kejahatan rangkap (double criminality).

Pasal 11
(1)  Ketentuan pidanadalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi kapten pilot, awak pesawat udara, penumpang pesawat udara Indonesia yang berada diluar wilayah negara Republik Indonesia melakukan salah satu tindak pidana penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Bab XXXI Buku Kedua.
(2)  Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga walaupun kapten pilot, awak pesawat udara, penumpang pesawat udara tersebut tidak berada dalam pesawat udara Indonesia.
Penjelasan:
Sejalan dengan ketentuan Pasal 10, yang dapat dipidana menurut ketentuan Pasal ini tidak hanya ketika pembuat berada di dalam pesawat udara Indonesia yang sedang melakukan penerbangan di wilayah udara negara asing, tetapi juga ketika ia berada di luar pesawat udara Indonesia yang sedang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia. Ketentuan ini juga merupakan perluasan berlakunya Pasal 4, dan berlaku tanpa pembatasan asas kejahatan rangkap (double criminality).

Pasal 12
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 penerapannya dibatasi oleh hal-hal yang dikecualikan menurut hukum internasional.
Penjelasan:
Dalam masyarakat suatu negara terdapat hukum yang mengatur tingkah laku para anggota masyarakat dalam rangka menegakkan ketentraman dan ketertiban dalam negara itu.Halyang sama berlaku pula dalam masyarakat dunia (internasional). Negara Indonesia merupakan anggota masyarakat Internasional, oleh karena itu sudah selayaknya hukum Indonesia juga ikut serta menegakkan hukum internasional. Ini berarti bahwa ketentuan hukum nasional Indonesia yang bertentangan dengan hukum internasional yang diakui oleh Indonesia, maka hukum nasional Indonesia tidak diberlakukan. Dengan ikut sertanya Indonesia dalam konvensi-konvensi internasional, maka berarti berlakuknya ketentuan pidana Indonesia sebagaimana disebt dalam ketentuan pasal ini dibatasi oleh hukum internasional.

Kepustakaan :


Andi Hamzah, 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta Jakarta.

Bambang Poenomo, 1978, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta.

Barda Nawawi Arief, 1994, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongson Generalisasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNDIP, Semarang.

----------------------, 1998, Beberapa Aspek Hukum Kebijakan dan pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Direktorat Perundang-undangan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hu-kum dan Perundang-undangan, 2000, Rancangan Undang-undang Republik Indo-nesia No. … Tahun … Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Direktorat Perun-dang-undangan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hu-kum dan Perundang-undangan.

Lamintang, P.A.F. , 1984, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.

Moelyatno, 1987, Asas-asas Hukum Pidana, Biana Aksara, Jakarta.
Utrecht, E, 1956, Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Djakarta.

Van Bemmelen, 1979, Hukum Pidana I Hukum pidana Materiel Bagian Umum, terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung.

Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung.

Zainal Abidin Farid, A. 1995, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta.

Zamhari Abidin, H. , 1986, Pengertian dan Asas Hukum Pidana dalam Schema (bagan) dan Synopsis (catatan singkat), Ghalia Indonesia, Jakarta.

1 komentar: