Rabu, 17 November 2010

TINDAK PIDANA DALAM UUPPLH

TINDAK PIDANA DALAM UPPLH
oleh: alvi syahrin

Ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species).
Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam 98 UUPPLH sampai Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”. Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam ketentuan dalam UUPPLH maupun dalam ketentuan undang-undang lain (ketentuan sektoral di luar UUPPLH) yang mengatur perlindungan hukum pidana bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi keduanya berbeda dalam memerikan penekanan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses menimbulkan akibat.[1]
Pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan hidup”, dicantumkan pada Pasal 1 angka (14) UUPPLH memberikan adalah:
“masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”
Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (14) UUPPLH, yaitu:
1.         masuknya atau dimasukkannya:
-          makhluk hidup,
-          zat,
-          energi,
dan atau
-          komponen lain
ke dalam lingkungan;
2.         dilakukan oleh kegiatan manusia;
3.         melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH di nyatakan bahwa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu: “ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”.
Baku mutu lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, meliputi:
a.       Baku mutu air;
b.      Baku mutu air limbah;
c.       Baku mutu air laut;
d.      Baku mutu udara ambien;
e.       Baku mutu emisi;
f.       Baku mutu gangguan, dan
g.       Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan baku mutu air limbah, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, diatur dalam peraturan menteri negara lingkungan hidup.
Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, memberikan penjelasan terhadap maku mutu tersebut, sebagai berikut:
-     “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
-     “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air .
-     “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
-     “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
-     “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.
-     “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan.
Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” secara otentik dirumuskan dalam Pasal 1 angka (16) UUPLH, sebagai berikut:
tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”.
Adapun unsur-unsur “perusakan lingkungan hidup”, sebagaimana terkandung dalam Pasal 1 angka (16) UUPPLH, yaitu:
1.         adanya tindakan;
2.         menimbulkan:
-          perubahan langsung
atau
-          tidak langsung
terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan;
3.         melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Baku kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 1 angka (15) UUPPLH, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UUPPLH, meliputi baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim, diatur dalam peraturan pemerintah.
Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3) UUPPLH, meliputi:
a.    kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b.    kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c.    kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;
d.    kriteria baku kerusakan mangrove;
e.    kriteria baku kerusakan padang lamun;
f.     kriteria baku kerusakan gambut;
g.    kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h.    kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selanjutnya, kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut Pasal 21 ayat (4) UUPPLH, didasarkan pada parameter antara lain:
a.       kenaikan tempratur;
b.      kenaikan muka air laut;
c.       badai; dan/atau
d.      kekeringan.
Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UUPPLH memberikan penjelasan terhadap maksud “produksi biomassa”, “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa”, “kriteria baku kerusakan terumbu karang”, dan “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan”.
- produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa.
- kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa.
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya dan hutan.
-       “kriteria baku kerusakan terumbu karang” adalah ukuran batas perubahan fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.
-       “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan” adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
Memperhatikan, uraian terdahulu tampak bahwa teknik perumusan tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dalam UUPPLH tidak lagi luas dan abstrak, sebagaimana tercantum dalam UUPLH. Rumusan dalam UUPLH dapat memberi ruang gerak bagi penegak hukum (hakim) untuk melakukan inovasi hukum dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup guna merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup karena ia (hakim) mempunyai semangat dan kepedulian untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Atau, juga dapat menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika aparat penenegak hukum (termasuk hakim) tidak peka dalam merespon perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup, dapat memberi peluang bagi penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk kepentingan lain (“kepentingan pribadi”).
Perumusan tindak pidana pencemaran dan atau kerusakan lingkungan berdasarkan UUPPLH, tidak lagi abstrak dan luas sebagaimana diatur dalam UUPLH, karena UUPPLH telah memberikan kata kunci bagi tindak pidana dan atau kerusakan lingkungan, yaitu: “melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau “melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan”.
Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH, menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai “rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-undang. Kejahatan (rechtsdelicten) merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu yang tidak tergantung dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata lain kejahatan merupakan perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana (dihukum) menurut masyarakat tanpa memperhatikan undang-undang pidana.
Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai kejahatan (rechtsdelicten), maka perbuatan tersebut dipandang sebagai secara esensial bertentangan dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan (membahayakan) kepentingan hukum., pelanggaran hukum yang dilakukan menyangkut pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta keharusan untuk melaksanakan kewajiban memelihara lingkungan hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 UUPPLH – 115 UUPPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan.
Tindak pidana materiil memerlukan (perlu terlebih dahulu dibuktikan) adanya akibat dalam hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Tindak pidana formal, tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah melanggar rumusan ketentuan pidana (ketentuan peraturan perundang-undangan), maka telah dapat dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact. Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya.
Tindak pidana formal ini tidak diperlukan akibat (terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui dalam tindak pidana formal dalam UUPPLH, yaitu, seseorang telah melakukan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan atau izin.
            Ketentuan Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2), (3)  UUPPLH, jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik formal juga delik materiil. Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2), (3) UUPPLH mengatur bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang melanggar baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan, sehingga orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, atau mengakibatkan orang luka berat atau mati. Dalam kasus ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran baku udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan tersebut dengan terjadinya orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian. Akan tetapi, jika ternyata tidak terbukti bahwa terjadinya pelanggaran baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria kerusakan lingkungan menyebabkan orang luka dan atau bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian, maka pelaku dibebaskan dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab atas perbuatannya karena melanggar tindak pidana formal.
            Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan materiil, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut hendaknya mendakwakan pelaku dengan dakwaan alternatif dan kumulatif. Artinya, jika dakwaan berdasarkan tindak pidana materiil tidak berhasil dibuktikan, maka dakwaan berdasarkan tindak pidana formal dapat dilakukan.
            Berdasarkan Pasal 98 UUPPLH sampai dengan Pasal 105 UUPPLH, tindak pidana lingkungan yaitu berupa:
1.    Pasal 98 UUPPLH dan Pasal 99 UUPPLH:
              a. Pasal 98 ayat (1) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (1) UUPPLH:
melakukan perbuatan:                 
yang mengakibatkan dilampauinya:
- baku mutu udara ambien,
- baku mutu air,
- baku mutu air laut, atau
- kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
b.  Pasal 98 ayat (2) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2) UUPPLH
     melakukan perbuatan:
 yang mengakibatkan dilampauinya:
- baku mutu udara ambien,
- baku mutu air,
- baku mutu air laut, atau
- kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
yang mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia.
c. Pasal 98 ayat (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (3) UUPPLH:
     melakukan perbuatan:
yang mengakibatkan dilampauinya:
- baku mutu udara ambien,
- baku mutu air,
- baku mutu air laut, atau
- kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
yang mengakibatkan orang luka berat atau mati.
Tindak pidana yang dilakukan berdasarkan Pasal 98 UUPPLH dilakukan dengan sengaja, sedangan tindak pidana yang dilakukan dalam Pasal 99 UUPPLH, dilakukan dengan kelalaian.
2. Pasal 100 UUPPLH:
melakukan perbuatan melanggar:
- baku mutu air limbah,
- baku mutu emisi, atau
- baku mutu gangguan
Berdasarkan Pasal 100 ayat (2) UUPPLH, tindak pidana ini baru dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Kemudian, penjelasan umum UUPPLH, menyatakan “... Penegakan hukum pidana lingkungan  tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan....”, maka untuk tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UUPPLH, berlaku asas ultimum remedium.
3. Pasal 101 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin
- melepaskan dan/atau
- mengedarkan
produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup
4.    Pasal 102 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
pengelolaan limbah B3 tanpa izin
5. Pasal 103 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
6. Pasal 104 UUPPLH:
    melakukan perbuatan:
      dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin
7. Pasal 105 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
8. Pasal 106 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
9. Pasal 107 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
10. Pasal 108 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
pembakaran lahan
11. Pasal 109 UUPPLH:
           melakukan perbuatan:
melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
12. Pasal 110 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
     menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal
13. Pasal 111 UUPPLH:
 Pejabat:
a.       pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL
b.      pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan
14. Pasal 112 UUPPLH
           Pejabat pengawas:
tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan yang mengakibatkan terjadinya:
--  pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia
15. Pasal 113 UUPPLH:
melakukan perbuatan berupa:
a. memberikan informasi palsu,
b. memberikan informasi menyesatkan,
c. menghilangkan informasi,
d. merusak informasi, atau
e. memberikan keterangan yang tidak benar
yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
16.  Pasal 114 UUPPLH
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
-      tidak melaksanakan paksaan pemerintah
17.  Pasal 115 UUPPLH
melakukan perbuatan:
mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil.


[1] Perhatikan juga, Mudzakir, “Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan”, dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), 2001, Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML., hal. 527, Universitas Indonesia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar