Kamis, 04 Juli 2013

ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGE GENERALIS

ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGE GENERALIS
Oleh: Alvi Syahrin

  Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP mengatur bahwa: Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan. Pasal 63 ayat (2) KUHP ini menegaskan keberlakuan (validitas) aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP terkandung asas Lex specialis derogat legi generalis  yang merupakan suatu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (general).  Berdasarkan asas Lex specialis derogat legi generalis,  aturan yang bersifat umum itu tidak lagi memiliki “validity” sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut sebagai hukum yang valid, yang mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.
Menentukan suatu aturan yang berifat khusus itu (lex specialis,  berpangkal tolak dari metode deduktif (dari yang khusus ke yang umum). Aturan yang bersifat khusus itu dibandingkan dengan aturan umumnya dengan mengidentifikasikan sifat-sifat umum yang terkandung dalam dalam aturan yang bersifat khusus itu. Sifat-sifat umum ketentuan tersebut dapat diketahui dengan memahami secara baik aturan yang bersifat umum tersebut. Sehingga ditemukan aturan yang khusus (lex specialis) berisi hal-hal yang bersifat umum yang ditambah hal lainnya (yang merupakan kekhususannya). Suatu aturan hukum yang tidak memuat norma yang hakekat addressat-nya tertuju pada perlindungan benda-benda hukum yang umum ditambah sifat khususnya, maka tidak dapat dikatakan sebagai lex specialis, oleh karena dalam aturan yang bersifat khusus terdapat keseluruhan ciri-ciri (kenmerk) atau kategoris dari aturan yang bersifat umum (lex generalis) dan ditambahkan ciri-ciri baru yang menjadi inti kekhususannya itu.
Menurut teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Hart, aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generalis termasuk kategori rule of recognition. Asas lex specialis derogat legi generalis,  mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku, dan asas lex specialis derogat legi generalis merupakan suatu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suaru represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.
Ditinjau dari teori criminal law policy yang dikemukakan Ancel, bahwa asas lex specialis derogat legi generalis merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy) yang mengatur tentang kewenangan. Artinya, bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum. Asas lex specialis derogat legi generalis ini penting bagi aparat penegak hukum guna menentukan aturan apa yang di terapkan atas suatu peristiwa yang diatur oleh lebih dari satu aturan, yang manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum dan yang manakah aturan-aturan yang lain tersebut yang bersifat khusus.
Menyimak ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menegaskan keberlakuan atau validitas aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Namun, apa yang dimaksud dengan aturan pidana tersebut, tidak ada dijelaskan dalam undang-undang. Dengan demikian perlu adanya penafsiran, sehingga jika melihat pandangan Friedmann yang menyatakan suatu sistem hukum terdiri substansi (substance), struktur (structure) dan budaya (culture), maka aturan pidana dimaksud yaitu substansi (materi) hukum itu sendiri dalam hal ini, aturan pidana tersebut yaitu sub-bagian hukum yang masuk kedalam ruang lingkup hukum pidana itu sendiri. Kemudian, jika memperhatikan pandangan Packer yang menyatakan ruang lingkup hukum pidana tersebut meliputi pengaturan tentang tindak pidana (crime), pertanggungjawaban pidana (responsibility) dan pemidanaan (punishment), maka aturan pidana diartikan ke dalam aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Sehingga, jika terdapat aturan yang sifatnya khusus mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan, maka aturan yang sifatnya umum menjadi tidak lagi valid.
Aturan hukum yang mengandung asas lex specialis derogat legi generalis, berlaku bukan hanya dalam menyikapi perbuatan-perbuatan yang taatbestand dengan aturan pidana yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga bahkan terutama terhadap aturan pidana yang terdapat dalam undang-undang lain di luar KUHP. Bahkan sepanjang tidak diatur sebaliknya, asas ini juga berlaku terhadap sesama undang-undang di luar KUHP. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP, yang menentukan: “ketentuan ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain”. Sehingga, ketentuan Pasal 63 ayat (2) tidak hanya berlaku ketika mencermati peristiwa konkrit dihadapkan pada aturan-aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana pemidanaan yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga terhadap hal yang sama yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP dihadapkan dengan KUHP itu sendiri, atau lebih jauh lagi terhadap dihadapkannya dua atau lebih undang-undang di luar KUHP. Sepanjang suatu peraturan perundang-undangan memuat aturan pidana yang khusus, maka mengenai hal yang sama yang secara umum diatur dalam KUHP (atau undang-undang di luar KUHP yang memiliki sifat lebih umum), menjadi tidak absah dalam arti  tidak lagi valid.
Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP, tidak ada hubungannya dengan masalah samenloop dari beberapa perilaku yang terlarang. yang diatur dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP , mengenai kemungkinan suatu perilaku yang terlarang itu telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana tertentu, akan tetapi kemudian ternyata telah diatur kembali di dalam suatu ketentuan pidana yang lain, dan ketentuan pidana tersebut merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti secara khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang harus diberlakukan. Atau dengan perkataan lain, dalam hal seperti itu berlakulah ketentuan hukum yang mengatakan: lex specialis derogat legi generalis.
Untuk dapat mengetahui, suatu ketentuan pidana itu secara lebih khusus telah mengatur suatu perilaku, yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang lain, sehingga ketentuan tersebut dapat disebut sebagai suatu bijzondere strafbepaling atau ketentuan pidana yang bersifat khusus, tidak ada suatu kriterium yang dapat dipergunakan sebagai pedoman. Namun demikian, ada doktrin cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu: a. cara memandang secara logis ataupun juga yang disebut logische beschouwing, dan b. cara memandang secara yuridis atau secara sistematis ataupun yang juga disebut jurisdische atau systematische beschouwing.
Berdasarkan pandangan secara logis (logische beschouwing), suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, jika ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Pandangan ini juga disebut sebagai suatu logische specialiteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis.
Selanjutnya, berdasarkan pandangan secara yuridis atau secara sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana yang bersifat khusus. Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische specialiteit atau systematische specialiteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis. Perkataan systematische specialiteit, untuk pertama kalinya dipergunakan Ch.J. ENSCHEDE dalam tulisannya yang berjudul “Lex specialis derogat legi generali” di dalam Tijdschrift van het Strafrecht  pada halaman 177 di tahun 1963.
Kekhususan ketentuan-ketentuan pidana yang bersifat khusus itu dapat juga terletak pada sifatnya yang memberatkan atau meringankan hukuman. Menurut P.A.F. Lamintang, untuk dapat disebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, suatu ketentuan pidan itu tidak selalu harus memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Ketentuan pidana yang sama sekali tidak memuat satu unsur pun dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, bahkan juga tidak menyebutkan kualifikasi kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan di dalam ketentuan pidana tersebut, melainkan hanya menyebutkan pasal-pasal dari kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan, akan tetapi ketentuan pidana tersebut harus juga dipandang sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.
Ketentuan pidana sebagaimana diatur Pasal 63 ayat (2) KUHP, perlu diperhatikan oleh hakim  maupun Jaksa Penunut Umum. Sebab, jika  suatu tindak pidana yang telah didakwakan terhadap seorang sebagaimana diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, dan kemudian ternyata bahwa tindak pidana tersebut yang bersifat khusus, maka unsur-unsur dari ketentuan pidana yang bersifat khusus inilah yang harus ia cantumkan di dalam surat dakwaannya. oleh karena, jika jaksa penuntut umum hanya mencantumkan unsur-unsur dari tindak pidana sebagaimana diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum di dalam surat dakwaannya, dan di dalam sidang peradilan kemudian yang  terbukti  (dapat dibuktikannya secara sah) yaitu perbuatan terdakwa yang telah memenuhi semua unsur dari suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, maka hakim harus membebaskan terdakwa dari segala yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum di dalam surat dakwaannya tersebut .
Kejadian sebagaimana diterangkan di atas, pernah diputuskan oleh HOGE RAAD dalam arrest-nya tanggal 6 Desember 1960, N.J. 1961 no. 54, HOGE RAAD yang telah membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum, oleh karena penuntut umum di dalam surat tuduhannya hanya menuduhkan pelanggaran terhadap Pasal 494 ayat (2) KUHP, yang pada hakekatnya hanya merupakan suatu tindak pidana yang telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, namun kemudian di persidangan peradilan kemudian ternyata perbuatan tertuduh itu telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 13 ayat (3) juncto Pasal 84 Wegverkeerreglement yang berlaku di Negeri Belanda, yang pada hakekatnya merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus yang mengatur tindak pidana yang sama secara lebih khusus.  HOGE RAAD di dalam pertimbangannya menyebutkan: walaupun apa yang telah dituduhkan oleh penuntut umum itu memang terbukti, akan tetapi perbuatan-perbuatan yang terbukti itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana, oleh karena dalam hal ini yang harus diberlakukan adalah ketentuan pidana yang bersifat khusus.


--o0o--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar